Ilustrasi Hukum Pembuktian. (Foto. Repro) TUGAS MAKALAH Hukum Pembuktian Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I ...
Hukum Pembuktian
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I
Dosen Pengampu : Novita Dewi
Widodo
Disusun Oleh :
Khafidz Cahya Diputra 122211002
Elys Sholehatun Azizah 122211005
Abid Mansyurudin 122211016
Fakultas
Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN
Walisongo Semarang
2013
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Soal pembuktian
sebenarnya masuk hukum
acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat
bahwa pembuktian termasuk pada hokum acara materil, sehingga dapat dimasukkan
ke dalam hokum perdata materil. Dalam
pemeriksaan perkara perdata hal-hal yang dibantah oleh pihak lawan sajalah yang
harus dibuktikan.
[1]
Dalam bahasan makalah ini
kami akan menitik beratkan kepada masalah pembuktian di dalam hukum perdata. Dalam perkara
perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang
disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam
hokum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak
perlu dibuktikan.
Jadi kalau dalam perkara
perdata itu, kalau pihak lawan menyangkal maka dibutuhkan suatu pembuktian. Tapi
kalau pihak lawan mengakui maka tidak butuh suatu pembuktian.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Hukum Pembuktian ?
2. Apa
Arti dan Sifat dari Pembuktian Perdata?
3. Apa
Teori Pembuktian Perdata ?
4. Apa
Saja Alat-Alat Pembuktian Perdata?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat
kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut hemat penulis,yang
dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam
acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan
mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,
untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang disengketakandi pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang
dinyatakan itu.[2]
B.
Arti
dan Sifat dari Pembuktian
Dalam suatu proses
perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan
hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam
suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang
menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila
berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar
gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal,
apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan,makatidak perlu dibuktikan lagi.[3]
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Pembuktian dalam
hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana di cari oleh
hakim adalah kebenaran formal. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara
hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem
pembuktian perdata tidak berperan.[4]
Dasar Hukum Pembuktian
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c. UU No. 14/1985 tentang MA. RI
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c. UU No. 14/1985 tentang MA. RI
Dalam hukum
positif, pembuktian, yang merupakan bagian dari hukum acara perdata, diatur
dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah
Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177 dan RBg ( Rechtsreglement
voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282
sampai dengan Pasal 314.
Ketentuan yang menjadi landasan dari pembuktian adalah
Pasal 283 RBg/163 HIR yang menyatakan:
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”[5]
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”[5]
C.
Teori Pembuktian Perdata
Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat
bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa
syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.
Alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu)
3.
Alat bukti tersebut memang
diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4.
Alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Dalam hukum
acara perdata, terdapat beberapa teori pembuktian yang dikenal, yaitu:
1. Teori hukum subyektif ( teori hak ).
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Teori hukum Obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.[6]
1. Teori hukum subyektif ( teori hak ).
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Teori hukum Obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.[6]
Asas audi et alteram
partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka
hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan
demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan
adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang
tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai
pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan
penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti.
Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi
hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak : .
1. Teori
pembuktian bebas
Teori
ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat
bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya
ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin.
Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap
penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan
tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.
2. Teori
pembuktian negatif
Teori
ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat
negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan
pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )
Pasal
306 RBg/169 HIR :
“
Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak
dapat dipercayai di dalam hukum. “
Pasal
1905 KUHPerdata :
“
Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan
tidak boleh dipercaya. “ [7]
3. Teori pembuktian positif
Disamping
adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870
KUHPerdata )41
Pasal
285 RBg/165 HIR :
“
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang
oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu,
memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan
sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut
di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar
diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta
tersebut. “
Pasal
1870 KUHPerdata :
“
Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. “[8]
D.
Alat-Alat Pembuktian
Perdata
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam
undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg
terdiri dari:
- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah [9]
A.
Bukti Tulisan atau Surat
Bukti
tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas
keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu
perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk
tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian
hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian
tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan
atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan
Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867
sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan
dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi
dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat
bukti tulisan terdiri dari :
1.
Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan
yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan
ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk
digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai
suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat
itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan
sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta
adalah perlu untuk identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta
yang satu dengan akta yang lainnya. Dan dengan penandatanganan itu seseorang
dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang
dimaksud dengan penandatanganan
ialah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi
sesuatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri
oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau
cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu
keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak
yang berwenang dikenal dengan waarmerking.
a)
akta otentik
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa
:
“ akta otentik,
yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di
hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti
yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu,
dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ;
tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung
berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal
1868 KUHPerdata yang menyatakan:
“ suatu akta
otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. “
Dari
kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang
dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta
otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta
pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan
pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).
Pejabat
yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai
pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu
perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan
dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita
acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta
otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru
sita, dan polisi. Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau
notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang
berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.
Untuk membuat
akta partai ( acte partij ) pejabat tidak pernah memulai insiatif, sedangkan
untuk membuat akta pejabat ( acte ambtelikj ) justru pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan
insiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu, akta pejabat berisikan
tidak lain daripada keterangan tertulis dari pejabat. Sedangkan dalam akta
partai berisikan keterangan para pihak sendiri, yang dituangkan (
diformulasikan ) oleh pejabat ke dalam akta.
b) akta
di bawah tangan
Akta
di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak
dalam HIR. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286
sampai dengan Pasal 305 RBg.52 [10]
Dalam
Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :
“
dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah
tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan
seorang pejabat umum. “
Pasal
1874 KUHPerdata, menyebutkan :
“
sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani
di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah
tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai
umum. “
Demikian
pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa surat-surat, daftar (
register ), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat
tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah tangan.
Jadi,
akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para
pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa,
dan sebagainya.
2.
Tulisan bukan akta
Tulisan
bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan
atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan,
tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
B.
Bukti dengan Saksi-Saksi
Pembuktian
dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata
alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179
RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan
Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902
sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada
beberapa pendapat mengenai kesaksian :
Menurut
A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan
pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang
demikian.
Menurut
S. M. Amin, kesaksian hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar
dan dialaminya, keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.[11]
Menurut
Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara,
yang dipanggil di persidangan. [12]
Pembuktian
dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal
165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di
antara para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris
( Pasal 22 KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat
dibuktikan dengan polis ( Pasal 258 KUHD).
Hakim
karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh
pihak-pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak
dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta
Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang
yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a.
Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari
salah satu pihak;
b.
Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c.
Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d.
Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun
alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai
saksi adalah :
a.
Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai
saksi
b.
Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila
mereka memberikan kesaksian;
c.
Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan
kesaksian.
Keluarga
sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam
perkara tentang perjanjian pekerjaan.
Orang-orang
yang dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah :
a.
Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak;
b.
Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan
dari suami/istri dari salah satu pihak;
c.
Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan
menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang
dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter,
advokat dan notaris.
Adapun
saksi menurut keadaannya, dapat digolongkan ke dalam :
1.
Saksi tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau mendengar
ataupun mengalami sendiri perbuatan atau peristiwa hukum yang menjadi perkara.
Dengan kata lain, saksi tersebut bukan diminta atau dipersiapkan oleh para
pihak pada saat peristiwa tersebut dilakukan. Misalnya, A pada saat datang ke
rumah B secara kebetulan melihat B dan C mengadakan transaksi jual beli.
2.
Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum tersebut
dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk menyaksikan
perbuatan hukum tersebut. Misalnya, orang-orang yang diminta untuk ikut serta
menyaksikan perjanjian jual beli, pembagian warisan, dan lain-lain.
Mengenai
kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan adalah tentang
adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami
sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut.
Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan
pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian
( Pasal 308 RBg/171 ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata ).
Kesaksian
juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan.
Dengan demikian, saksi harus memberitahukan sendiri apa yang diketahuinya,
tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain. Ketentuan ini ditafsirkan
dari Pasal 166 ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal 176 RBg/148 HIR yang
menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak
datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan tetapi
enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi. [13]
C.
Persangkaan-Persangkaan
Alat
bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai
dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila
terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan
perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk
mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk
membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti
persangkaan.
Persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.
Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut
dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut
undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[14]
Persangkaan
dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Persangkaan atas dasar kenyataan
Dalam
hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan
tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan
pembuktian. Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang
didasarkan alasan perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa
yang bukan suami isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu
tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut
persangkaan hakim.[15]
2.
Persangkaan atas dasar
hukum/undang-undang
Dalam
hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang
diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.[16]
Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :
a. praesumptiones
juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya
pembuktian lawan.
b. praesumtiones
juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan.
Contoh-contoh
persangkaan undang-undang :
1. Terhadap
benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus dibayar kepada
si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya (
Pasal 1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ).
2. Tiap tembok
yang dipakai sebagai tembok batas antara 2 ( dua ) pekarangan dianggap sebagai
milik bersama pemilik pekarangan yang berbatasan, kecuali ada suatu alas hak
atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya ( Pasal 633 KUHPerdata ).
3. Tiap anak yang dilahirkan selama
perkawinan, maka suami dari perempuan yang melahirkan adalah ayahnya ( Pasal
250 KUHPerdata ).
4. Mengenai
pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang, dan
pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu
yang lebih pendek, maka dengan adanya 3 ( tiga ) surat tanda pembayaran 3 (
tiga ) angsuran berturut-turut, terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran
yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya ( Pasal
1394 KUHPerdata ).
D.
Pengakuan
Pengakuan
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR,
Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
Ada
beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan :
1)
Menurut A. Pitlo,
“
pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa
yang dikemukakan pihak lawan. “[17]
2)
Menurut S. M. Amin,
“
pengakuan adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan,
yang membenarkan seluruh dakwaan ( dalil ) lawan, atau hanya satu atau lebih
daripada satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan ( didalilkan ), atau hanya
salah satu atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan ( didalilkan ). “
3)
Menurut Sudikno Mertokusumo,
“
pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak baik
tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam
perkara di persidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari
suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang
mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[18]
Jadi,
pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam
perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa,
hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain.
Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak
atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
Pengakuan
dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di
dalam sidang pengadilan
( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal
1926 KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim
dalam persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti
bahwa pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal
yang terjadi.
Sedangkan,
pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927
dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar
persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
Pengakuan
dibeda-bedakan sebagai berikut :
1.
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya
dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat
apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh
hukum. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam uang sebesar Rp.
1.000.000,00 ( satu juta rupiah ), tergugat mengakui bahwa ia memang meminjam
uang kepada penggugat sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).
2.
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan
terhadap sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah
jawaban tergugat yang memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa
sangkalan atau bantahan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam
uang kepadanya sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ), tergugat mengakui
memang telah meminjam uang kepada penggugat, tetapi bukan Rp. 2.000.000,00 (
dua juta rupiah ) melainkan Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).
3. Pengakuan dengan klausula adalah
pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa pembayaran,
pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban tergugat
tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan
penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan. Misalnya, penggugat
menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 3.000.000,00 (
tiga juta rupiah ), tergugat mengakui memang meminjam uang kepada penggugat
sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tetapi hutang tersebut sudah
dibayar lunas.
Alat
bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak bebas untuk menerima
sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang yang
mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. ( Pasal 313
RBg/176 HIR, Pasal 1924 KUHPerdata ).
E.
Sumpah
Alat
bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155
sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai
dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Walaupun
undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan
pengertiannya, yaitu antara lain :
1)
Menurut A. Pitlo,
“
Sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[19]
2)
Menurut Sudikno Mertokusumo,
“
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat
mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “[20]
3)
Menurut M. H. Tirtaamidjaja,
“
Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang
yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia
dikutuk Tuhan. “ [21]
Dalam
hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam :
1.
Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk
menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah
decissoir );
2.
Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu
pihak, yakni :
a)
sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan
b)
sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).
Kedua
macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal
314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah mengucapkan
sumpah baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut
tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah
diucapkan. Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat
dilakukan apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari
alat-alat bukti lain untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.
Di
dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar
sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar sebagai saksi, namun
dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan
dengan sumpah, yang dimaksudkan sebagai alat bukti.
1.
Sumpah Pemutus
Sumpah
pemutus disebut juga sumpah decissoir, diatur dalam Pasal 183 RBg/156 HIR dan
Pasal 1930 KUHPerdata. Sumpah pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh salah
satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Insiatif untuk membebani sumpah
pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara dan dia pulalah yang
menyusun rumusan sumpahnya.
Sumpah
pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang
diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan kedua belah
pihak, pihak yang diperintahkan bersumpah, tetapi tidak bersedia, dapat
mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya. Akan tetapi, bila perbuatan yang
dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua
belah pihak, melainkan hanya dilakukan sendiri oleh pihak yang dibebani sumpah,
maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak
ikut melakukan perbuatan.
Pasal183
RBg/156 HIR dan Pasal 1932 KUHPerdata menyatakan :
“
barangsiapa yang diperintahkan mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya atau
menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan mengangkat sumpah
dan setelah kepadanya sumpah itu dikembalikan ia menolak mengangkatnya, harus
dikalahkan. “
Hakim
tidak boleh menolak keinginan pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan
perkaranya dengan sumpah pemutus. Hakim hanya mempertimbangkan, apakah hal-hal
atau kejadian-kejadian yang akan dilakukan dengan sumpah tersebut akan membawa
pada penyelesaian perkara dan apakah benar-benar mengenai hal-hal dan
kejadian-kejadian yang benar tidaknya memang dapat dikuatkan oleh sumpah dari
pihak yang berperkara. Bila segala sesuatu untuk melakukan sumpah telah
terpenuhi, hakim harus memperkenankan penyumpahan itu dan harus memberi putusan
sesuai dengan bunyi sumpah tersebut.
Pasal
1936 KUHPerdata menyatakan
“
apabila seorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau seorang
yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusan perkaranya, sudah mengangkat
sumpahnya, maka tak dapatlah pihak lawan diterima untuk membuktikan kepalsuan
sumpah itu. “
Pihak
yang memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah harus dikalahkan, tanpa ada
kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lain. Jika pihak yang dikalahkan
menuduh bahwa sumpah yang diangkat pihak lawannya itu palsu, maka ia dapat
mengajukan pengaduan kepada aparat yang berwenang dan meminta supaya pihak yang
mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara pidana atas dakwaan bersumpah
palsu yang disebut dalam Pasal 242 KUHPidana.[22]
2.
Sumpah Penambah
Sumpah
penambah atau sumpah pelengkap disebut juga dengan sumpah suppletoir diatur
dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penambah adalah
sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak
yang berperkara untuk menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang belum
lengkap. Jadi, sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada
salah satu pihak yang berperkara, baik penggugat ataupun tergugat, bila sudah
ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti
lain. Jika tanpa ada bukti sama sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan
salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah penambah ini, demikian
pula apabila telah ada alat bukti yang cukup.
Pihak
mana yang harus diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat sumpah penambah
adalah merupakan kebijaksanaan hakim yang memeriksa tentang duduk perkaranya,
artinya hakim bebas dalam memilih siapa dari pihak-pihak yang berperkara yang
akan dibebani sumpah. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan oleh hakim ialah
pihak mana yang dengan sumpah penambah itu akan menjamin kebenaran peristiwa
yang menjadi perkara. Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat
sumpah penambah, tidak boleh mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan.
Hakim
dapat memerintahkan sumpah penambah tersebut apabila ia berpendapat bahwa
tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna ataupun tuntutan atau
tangkisan tersebut juga tidak sama sekali tidak terbukti. ( Pasal 182 RBg/155
HIR ayat ( 1 ) dan Pasal 1941 KUHPerdata )68
Adapun
apa yang dinyatakan dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan dengan
perbuatan yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan kepada
pihak lawan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah
diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.
3.
Sumpah Penaksir
Sumpah
penaksir disebut juga dengan sumpah taxatoir atau sumpah aestimatoir, diatur
dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penaksir yaitu
sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Sumpah penaksir ini diperintahkan
oleh hakim, bila jumlah uang pengganti kerugian yang diderita pihak tergugat
tidak jelas, sehingga perlu dipastikan dengan pembuktian. Dan untuk itu hakim
harus menetapkan harga tertinggi ( Pasal 182 RBg/155 HIR ayat ( 2 ) dan Pasal
1942 KUHPerdata ). [23]
Sumpah
penaksir hanya dapat dibebankan kepada si penggugat bila si penggugat telah
membuktikan haknya atas pembayaran kerugian. Sumpah tersebut dapat dipergunakan
oleh hakim bila ia berpendapat bahwa alat bukti yang telah ada tidak dapat
menetapkan besarnya kerugian tersebut.
Baik
sumpah pemutus, sumpah penambah maupun sumpah penaksir harus dijalankan sendiri
oleh pihak yang dibebankan sumpah tersebut. Namun sebagai pengecualian yang
disebabkan karena hal yang penting, Pengadilan Negeri memberi ijin kepada salah
satu pihak untuk melakukan sumpah kepada seorang wakil berdasarkan surat kuasa
( Pasal 184 RBg/157 HIR ), surat kuasa tersebut harus berupa surat otentik yang
secara seksama dan cukup menyebutkan bunyi lafal sumpah tersebut.[24]
Pengangkatan sumpah harus dijalankan di dalam persidangan,
kecuali apabila ada halangan yang sah, misalnya pihak yang dibebankan sumpah
tersebut sakit, maka pelaksanaan sumpah dapat dilakukan di rumah orang yang
berhalangan dengan bantuan panitera/panitera pengganti untuk membuat berita
acara ( Pasal 185 RBg/158 HIR ).
Pelaksanaan
sumpah harus diambil dihadapan pihak yang lain, setelah pihak tersebut
dipanggil secara patut, bila tidak maka sumpah tersebut menjadi batal. Oleh
karena sumpah pemutus dan sumpah penambah sama-sama bertujuan menyelesaikan
perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR dinyatakan :
“
Orang yang di dalam suatu perkara telah mengangkat sumpah, yang dibebankan,
atau ditolak kepadanya oleh lawannya, atau dibebankan kepadanya oleh hakim,
orang itu tidak dapat diminta bukti lain akan meneguhkan apa yang dibenarkannya
dengan sumpah. “
Artinya,
kalau sumpah sudah dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak itu tidak dapat
lagi diperintahkan mengadakan bukti lain untuk meneguhkan apa yang sudah
dibenarkannya dengan sumpah tersebut. Jadi, dengan dilakukannya sumpah, maka
pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim
tinggal menjatuhkan putusannya.
Alat bukti di atas merupakan alat bukti konvensional yang sudah lama
dikenal seperti alat bukti surat ,saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat
banyak model alat bukti yang non konvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR
ataupun KUHAP dibentuk, misalnya, tentang alat bukti elektronik, sainstifik,
dan lain-lain. Oleh karena itu dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut
di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan.[25]
III.
KESIMPULAN
Hukum pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum acara perdata berlaku sistem
pembuktian positif, dimana di cari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sehingga
jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya
sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.
Dalam perkara perdata hal-hal
yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak
lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hokum acara perdata,
yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
Dasar Hukum Pembuktian
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c UU No. 14/1985 tentang MA. RI
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c UU No. 14/1985 tentang MA. RI
Dalam proses pembuktian, tentu saja diperlukan alat
bukti untuk mendukung dalil para pihak. Hukum acara perdata, mengatur dalam
pasal 164 HIR, bahwa terdapat 5 alat bukti yang dikenal, yaitu:
1. Surat, diatur dalam Pasal 165 – 169
2. Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
4. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
5. Sumpah, diatur dalam Pasal 177
1. Surat, diatur dalam Pasal 165 – 169
2. Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
4. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
5. Sumpah, diatur dalam Pasal 177
IV.
PENUTUP
Demikianlah paparan yang dapat kami persembahkan dengan waktu yang
sesingkat ini. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini, kami
juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
makalah-makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.SitiSoetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Bandung
: PT RefikaAditama, 2007.
Munir
Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan
perdata), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006.
S , Retnowulan dan O ,Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek
,Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005.
Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005.
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Praramita,
2008.
Pitlo.A, Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta : PT. Intermasa, 1978.
Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Penerbit Alumni,
Bandung, 1992.
Syahrani , H, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004.
[1]A.SitiSoetami, Pengantar Tata
Hukum Indonesia,Bandung : PT RefikaAditama, 2007, hlm,37.
[2] Munir Fuady, Teori Hukum
Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm,1-2.
[3]Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek ,Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005,
hlm, 53.
[4] Opcit,Munir Fuady,hlm, 3.
[6]Hari
Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005, hlm, 21.
[7] Ibid, hlm : 22.
[8] Ibid, hlm : 23.
[9] R Subekti dan R
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Jakarta : PT Pradnya Praramita, 2008, hlm, 473.
[22] H. Riduan
Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung,: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm, 119.
COMMENTS