Hukum Pembuktian

Ilustrasi Hukum Pembuktian. (Foto. Repro)   TUGAS MAKALAH Hukum Pembuktian Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I ...


Ilustrasi Hukum Pembuktian. (Foto. Repro)
 TUGAS MAKALAH
Hukum Pembuktian
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I
 Dosen Pengampu : Novita Dewi Widodo


Disusun Oleh :

Khafidz Cahya Diputra            122211002
Elys Sholehatun Azizah           122211005
Abid Mansyurudin                    122211016

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Soal pembuktian sebenarnya masuk hukum acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat bahwa pembuktian termasuk pada hokum acara materil, sehingga dapat dimasukkan ke dalam hokum perdata materil. Dalam pemeriksaan perkara perdata hal-hal yang dibantah oleh pihak lawan sajalah yang harus dibuktikan.
[1]
Dalam bahasan makalah ini kami akan menitik beratkan kepada masalah pembuktian di dalam hukum perdata. Dalam perkara perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hokum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
Jadi kalau dalam perkara perdata itu, kalau pihak lawan menyangkal maka dibutuhkan suatu pembuktian. Tapi kalau pihak lawan mengakui maka tidak butuh suatu  pembuktian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Hukum  Pembuktian ?
2.      Apa Arti dan Sifat dari Pembuktian  Perdata?
3.      Apa Teori Pembuktian  Perdata ?
4.      Apa Saja Alat-Alat Pembuktian  Perdata?

 II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut hemat penulis,yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang disengketakandi pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang dinyatakan itu.[2]
B.     Arti dan Sifat dari Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan,makatidak perlu dibuktikan lagi.[3]
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim. Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Pembuktian dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana di cari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.[4]
 Dasar Hukum Pembuktian
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)                                                            
    Stb. 1941 No. 44  (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
    Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
    Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
    a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
    b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
    c. UU No. 14/1985 tentang MA. RI
Dalam hukum positif, pembuktian, yang merupakan bagian dari hukum acara perdata, diatur dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177 dan RBg ( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314.
Ketentuan yang menjadi landasan dari pembuktian adalah Pasal 283 RBg/163 HIR yang menyatakan:
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”[5]
C.     Teori Pembuktian Perdata
Teori hukum  pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.      Alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu)
3.      Alat  bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4.      Alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa teori pembuktian yang dikenal, yaitu:
1.      Teori hukum subyektif ( teori hak ).
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.      Teori hukum Obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.      Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.[6]
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti.
Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak : .
1.      Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.
2.      Teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )
Pasal 306 RBg/169 HIR :
“ Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. “
Pasal 1905 KUHPerdata :
“ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. “ [7]
3.       Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata )41
Pasal 285 RBg/165 HIR :
“ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal 1870 KUHPerdata :
“ Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. “[8]


D.    Alat-Alat Pembuktian Perdata
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg terdiri dari:
- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah [9]
A.    Bukti Tulisan atau Surat
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.
 Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :

1.      Akta
 Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan ialah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan waarmerking.
a)      akta otentik
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :
“ akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan:

“ suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. “

Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru sita, dan polisi. Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.
Untuk membuat akta partai ( acte partij ) pejabat tidak pernah memulai insiatif, sedangkan untuk membuat akta pejabat ( acte ambtelikj ) justru pejabatlah yang bertindak aktif, yaitu dengan insiatif sendiri membuat akta tersebut. Oleh karena itu, akta pejabat berisikan tidak lain daripada keterangan tertulis dari pejabat. Sedangkan dalam akta partai berisikan keterangan para pihak sendiri, yang dituangkan ( diformulasikan ) oleh pejabat ke dalam akta.

    b) akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak dalam HIR. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg.52 [10]
Dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :
“ dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. “
Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan :
“ sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. “

Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa surat-surat, daftar ( register ), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah tangan.
Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.

2.    Tulisan bukan akta

Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.

B.      Bukti dengan Saksi-Saksi

Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai kesaksian :
Menurut A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang demikian.  
Menurut S. M. Amin, kesaksian hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya, keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.[11]
Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. [12]
Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22 KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis ( Pasal 258 KUHD).
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c. Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian.

Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan.
Orang-orang yang dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter, advokat dan notaris.

Adapun saksi menurut keadaannya, dapat digolongkan ke dalam :
1. Saksi tidak disengaja, yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau mendengar ataupun mengalami sendiri perbuatan atau peristiwa hukum yang menjadi perkara. Dengan kata lain, saksi tersebut bukan diminta atau dipersiapkan oleh para pihak pada saat peristiwa tersebut dilakukan. Misalnya, A pada saat datang ke rumah B secara kebetulan melihat B dan C mengadakan transaksi jual beli.
2. Saksi yang disengaja, yaitu saksi yang pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan telah diminta dengan sengaja oleh para pihak untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Misalnya, orang-orang yang diminta untuk ikut serta menyaksikan perjanjian jual beli, pembagian warisan, dan lain-lain.
Mengenai kesaksian yang harus diberikan oleh saksi di muka persidangan adalah tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171 ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata ).
Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan. Dengan demikian, saksi harus memberitahukan sendiri apa yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain. Ketentuan ini ditafsirkan dari Pasal 166 ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal 176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan tetapi enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi. [13]

C.      Persangkaan-Persangkaan

Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[14]
Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Persangkaan atas dasar kenyataan
Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian. Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.[15]
2.      Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.[16] Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :
a. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b. praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

Contoh-contoh persangkaan undang-undang :
1. Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya ( Pasal 1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ).
2. Tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara 2 ( dua ) pekarangan dianggap sebagai milik bersama pemilik pekarangan yang berbatasan, kecuali ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya ( Pasal 633 KUHPerdata ).
3. Tiap anak yang dilahirkan selama perkawinan, maka suami dari perempuan yang melahirkan adalah ayahnya ( Pasal 250 KUHPerdata ).
4. Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang, dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya 3 ( tiga ) surat tanda pembayaran 3 ( tiga ) angsuran berturut-turut, terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya ( Pasal 1394 KUHPerdata ).

D.    Pengakuan

Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
   Ada beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan :
1) Menurut A. Pitlo,
“ pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak lawan. “[17]
2) Menurut S. M. Amin,
“ pengakuan adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan, yang membenarkan seluruh dakwaan ( dalil ) lawan, atau hanya satu atau lebih daripada satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan ( didalilkan ), atau hanya salah satu atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan ( didalilkan ). “
3) Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[18]
Jadi, pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
Pengakuan dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di dalam sidang pengadilan
 ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926 KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.
Sedangkan, pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927 dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.

Pengakuan dibeda-bedakan sebagai berikut :
1. Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh hukum. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ), tergugat mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).
2. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah jawaban tergugat yang memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa sangkalan atau bantahan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ), tergugat mengakui memang telah meminjam uang kepada penggugat, tetapi bukan Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ) melainkan Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).
3. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban tergugat tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tergugat mengakui memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tetapi hutang tersebut sudah dibayar lunas.

Alat bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak bebas untuk menerima sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang yang mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. ( Pasal 313 RBg/176 HIR, Pasal 1924 KUHPerdata ).

E.     Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan pengertiannya, yaitu antara lain :
1) Menurut A. Pitlo,
“ Sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[19]
2) Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “[20]
3) Menurut M. H. Tirtaamidjaja,
“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. “ [21]

Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam :
1. Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah decissoir );
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak, yakni :
a) sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan
b) sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).

Kedua macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah mengucapkan sumpah baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah diucapkan. Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lain untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.
Di dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh didengar sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat didengar sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan dengan sumpah, yang dimaksudkan sebagai alat bukti.
1. Sumpah Pemutus
Sumpah pemutus disebut juga sumpah decissoir, diatur dalam Pasal 183 RBg/156 HIR dan Pasal 1930 KUHPerdata. Sumpah pemutus adalah sumpah yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Insiatif untuk membebani sumpah pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara dan dia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya.
Sumpah pemutus harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang diperintahkan untuk bersumpah. Apabila perbuatan tersebut dilakukan kedua belah pihak, pihak yang diperintahkan bersumpah, tetapi tidak bersedia, dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada lawannya. Akan tetapi, bila perbuatan yang dimintakan sumpah bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan hanya dilakukan sendiri oleh pihak yang dibebani sumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan yang tidak ikut melakukan perbuatan.
Pasal183 RBg/156 HIR dan Pasal 1932 KUHPerdata menyatakan :
“ barangsiapa yang diperintahkan mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan mengangkat sumpah dan setelah kepadanya sumpah itu dikembalikan ia menolak mengangkatnya, harus dikalahkan. “
Hakim tidak boleh menolak keinginan pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkaranya dengan sumpah pemutus. Hakim hanya mempertimbangkan, apakah hal-hal atau kejadian-kejadian yang akan dilakukan dengan sumpah tersebut akan membawa pada penyelesaian perkara dan apakah benar-benar mengenai hal-hal dan kejadian-kejadian yang benar tidaknya memang dapat dikuatkan oleh sumpah dari pihak yang berperkara. Bila segala sesuatu untuk melakukan sumpah telah terpenuhi, hakim harus memperkenankan penyumpahan itu dan harus memberi putusan sesuai dengan bunyi sumpah tersebut.
Pasal 1936 KUHPerdata menyatakan  
“ apabila seorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau seorang yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusan perkaranya, sudah mengangkat sumpahnya, maka tak dapatlah pihak lawan diterima untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu. “
Pihak yang memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah harus dikalahkan, tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lain. Jika pihak yang dikalahkan menuduh bahwa sumpah yang diangkat pihak lawannya itu palsu, maka ia dapat mengajukan pengaduan kepada aparat yang berwenang dan meminta supaya pihak yang mengangkat sumpah itu dituntut dalam perkara pidana atas dakwaan bersumpah palsu yang disebut dalam Pasal 242 KUHPidana.[22]

2. Sumpah Penambah                                                                 
Sumpah penambah atau sumpah pelengkap disebut juga dengan sumpah suppletoir diatur dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penambah adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi, sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara, baik penggugat ataupun tergugat, bila sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Jika tanpa ada bukti sama sekali maka hakim tidak dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah penambah ini, demikian pula apabila telah ada alat bukti yang cukup.
Pihak mana yang harus diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat sumpah penambah adalah merupakan kebijaksanaan hakim yang memeriksa tentang duduk perkaranya, artinya hakim bebas dalam memilih siapa dari pihak-pihak yang berperkara yang akan dibebani sumpah. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan oleh hakim ialah pihak mana yang dengan sumpah penambah itu akan menjamin kebenaran peristiwa yang menjadi perkara. Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk mengangkat sumpah penambah, tidak boleh mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan.
Hakim dapat memerintahkan sumpah penambah tersebut apabila ia berpendapat bahwa tuntutan atau tangkisan tidak terbukti dengan sempurna ataupun tuntutan atau tangkisan tersebut juga tidak sama sekali tidak terbukti. ( Pasal 182 RBg/155 HIR ayat ( 1 ) dan Pasal 1941 KUHPerdata )68
Adapun apa yang dinyatakan dalam sumpah penambah tidak harus berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan secara pribadi oleh orang yang bersumpah. Dan kepada pihak lawan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa sesuatu yang telah diteguhkan oleh sumpah tersebut adalah tidak benar.


3.      Sumpah Penaksir
Sumpah penaksir disebut juga dengan sumpah taxatoir atau sumpah aestimatoir, diatur dalam Pasal 182 RBg/155 HIR dan Pasal 1940 KUHPerdata. Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang pengganti kerugian. Sumpah penaksir ini diperintahkan oleh hakim, bila jumlah uang pengganti kerugian yang diderita pihak tergugat tidak jelas, sehingga perlu dipastikan dengan pembuktian. Dan untuk itu hakim harus menetapkan harga tertinggi ( Pasal 182 RBg/155 HIR ayat ( 2 ) dan Pasal 1942 KUHPerdata ). [23]
Sumpah penaksir hanya dapat dibebankan kepada si penggugat bila si penggugat telah membuktikan haknya atas pembayaran kerugian. Sumpah tersebut dapat dipergunakan oleh hakim bila ia berpendapat bahwa alat bukti yang telah ada tidak dapat menetapkan besarnya kerugian tersebut.

Baik sumpah pemutus, sumpah penambah maupun sumpah penaksir harus dijalankan sendiri oleh pihak yang dibebankan sumpah tersebut. Namun sebagai pengecualian yang disebabkan karena hal yang penting, Pengadilan Negeri memberi ijin kepada salah satu pihak untuk melakukan sumpah kepada seorang wakil berdasarkan surat kuasa ( Pasal 184 RBg/157 HIR ), surat kuasa tersebut harus berupa surat otentik yang secara seksama dan cukup menyebutkan bunyi lafal sumpah tersebut.[24]
 Pengangkatan sumpah harus dijalankan di dalam persidangan, kecuali apabila ada halangan yang sah, misalnya pihak yang dibebankan sumpah tersebut sakit, maka pelaksanaan sumpah dapat dilakukan di rumah orang yang berhalangan dengan bantuan panitera/panitera pengganti untuk membuat berita acara ( Pasal 185 RBg/158 HIR ).
Pelaksanaan sumpah harus diambil dihadapan pihak yang lain, setelah pihak tersebut dipanggil secara patut, bila tidak maka sumpah tersebut menjadi batal. Oleh karena sumpah pemutus dan sumpah penambah sama-sama bertujuan menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR dinyatakan :
“ Orang yang di dalam suatu perkara telah mengangkat sumpah, yang dibebankan, atau ditolak kepadanya oleh lawannya, atau dibebankan kepadanya oleh hakim, orang itu tidak dapat diminta bukti lain akan meneguhkan apa yang dibenarkannya dengan sumpah. “
Artinya, kalau sumpah sudah dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak itu tidak dapat lagi diperintahkan mengadakan bukti lain untuk meneguhkan apa yang sudah dibenarkannya dengan sumpah tersebut. Jadi, dengan dilakukannya sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai dan hakim tinggal menjatuhkan putusannya.

Alat bukti di atas merupakan alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal seperti alat bukti surat ,saksi, pengakuan, dan sebagainya, sangat banyak model alat bukti yang non konvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR ataupun KUHAP dibentuk, misalnya, tentang alat bukti elektronik, sainstifik, dan lain-lain. Oleh karena itu dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan.[25]
III.              KESIMPULAN
Hukum pembuktian dalam hukum perdata, pembuktian dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana di cari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.
Dalam perkara perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hokum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
Dasar Hukum Pembuktian
1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)                                                            
    Stb. 1941 No. 44  (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
    Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
    Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
    a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
    b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
    c
UU No. 14/1985 tentang MA. RI
Dalam proses pembuktian, tentu saja diperlukan alat bukti untuk mendukung dalil para pihak. Hukum acara perdata, mengatur dalam pasal 164 HIR, bahwa terdapat 5 alat bukti yang dikenal, yaitu:
1.      Surat, diatur dalam Pasal 165 – 169
2.      Saksi, diatur dalam Pasal 169 – 172
3.      Persangkaan, diatur dalam Pasal 173
4.      Pengakuan, diatur dalam Pasal 174 – 176
5.      Sumpah, diatur dalam Pasal 177


IV.             PENUTUP
Demikianlah paparan yang dapat kami persembahkan dengan waktu yang sesingkat ini. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini, kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk makalah-makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

A.SitiSoetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Bandung : PT RefikaAditama, 2007.

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006.

S , Retnowulan dan O ,Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek ,Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005.

Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005.    
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Praramita, 2008.

Pitlo.A, Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta : PT. Intermasa, 1978.

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1992.

Syahrani , H, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.


[1]A.SitiSoetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia,Bandung : PT RefikaAditama, 2007, hlm,37.
[2] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm,1-2.
[3]Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek ,Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, hlm, 53.
[4] Opcit,Munir Fuady,hlm, 3.
[5] Opcit,Retnowulan S dan Iskandar O.hlm, 54.
[6]Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005, hlm, 21.
[7] Ibid, hlm : 22.
[8] Ibid, hlm : 23.
[9] R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Praramita, 2008, hlm, 473.
[10] Opcit, Hari Sasangka, hlm, 56.
[11] Opcit, Hari Sasangka, hlm 60.
[12] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung :Penerbit Alumni, 1992, hlm,51.

[13] Ibid, Teguh Samudra, hlm, 60.
[14] Opcit, Retnowulan S dan Iskandar O, hlm, 68.
[15] Opcit, Hari Sasangka, hlm, 56.
[16] Ibid, hlm, 98.
[17] A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta : PT. Intermasa, 1978, hlm, 150.
[18] Opcit, Hari Sasangka, hlm,102.
[19] Opcit, A pItlo, hlm, 172.
[20] Opcit, Teguh Samudra, hlm, 95.
[21] Opcit, Hari Sasangka, hlm,113.
[22] H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung,: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm, 119.           

[23] Opcit, Hari Sasangka, hlm,116.
[24] Ibid, hlm, 126.
[25] Opcit, Munir Fuady, hlm, 6.

COMMENTS

Name

Makalah Aliran Syiah,1,MAKALAH FIQH,7,MAKALAH HUKUM,12,MAKALAH POLITIK,1,MAKALAH SEJARAH,3,MAKALAH TAUHID,2,Maklah Tauhid,1,
ltr
item
Asrama Aksara: Hukum Pembuktian
Hukum Pembuktian
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipZglMwjzAJVwaKiEkdyIioxQDYD89tqnPGh3zKlOydvng3dmkL4lQSVc9moVjHBh9uZjr6L8u1gDONlIkPo5eeIdZ09I-TRMI875rg-f7TKjTn4CxevYqk0D_j-F55tgkqiKrnE8VIo2q/s640/Ilustrasi+Hukum+Pembuktian.+%2528Foto.+Repro%2529.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipZglMwjzAJVwaKiEkdyIioxQDYD89tqnPGh3zKlOydvng3dmkL4lQSVc9moVjHBh9uZjr6L8u1gDONlIkPo5eeIdZ09I-TRMI875rg-f7TKjTn4CxevYqk0D_j-F55tgkqiKrnE8VIo2q/s72-c/Ilustrasi+Hukum+Pembuktian.+%2528Foto.+Repro%2529.jpg
Asrama Aksara
https://asramaksara.blogspot.com/2013/12/hukum-pembuktian_30.html
https://asramaksara.blogspot.com/
https://asramaksara.blogspot.com/
https://asramaksara.blogspot.com/2013/12/hukum-pembuktian_30.html
true
1971343123301833580
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy