Praktek Hukuman Cambuk yang dilakukan di Nangrue Aceh Darusallam. (Foto. Repro) TUGAS MAKALAH HUKUMAN (HADD) JARIMAH QODZAF Gun...
Praktek Hukuman Cambuk yang dilakukan di Nangrue Aceh Darusallam. (Foto. Repro) |
HUKUMAN (HADD) JARIMAH QODZAF
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Jinayah
Dosen Pengampu: DR. Mashudi, M. Ag
Disusun Oleh :
Laeli Fajriyah 122211013
Fakultas
Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN
Walisongo Semarang
2013
I.
PENDAHULUAN
Setiap muslim diharapkan mampu menjaga nama baik saudaranya
sesama muslim. Bukanlah membuka dan menebar rahasia atau aib yang yang akan
mencemarkan nama baik sesama muslim lainnya, maka jika ada orang menuduh muslim
menuduh berzina namun tidak dapat membuktikannya dengan mengemukakan 4 orang
saksi, maka dia dianggap seorang yang telah berbuat qodzaf atau menuduh
wanita/laki-laki baik telah melakukan zina.
Al-Qur’an dan al-Sunnah telah menetapkan hukuman (hadd)
tertentu untuk kesalahan-kesalahan tertentu. Kesalahan-kesalahan itu merupakan
dosa besar yang mengharuskan adanya hukuman bagi pelaku kesalahan itu. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan, dan menjamin
kemaslahatan umat. Salah satu contoh dari kesalahan-kesalahan yang menyebabkan
pelakunya dikenakan hukuman (hadd) adalah qodzaf. Lantas bagaimanakah
reinterpretasi dan reaktualisasi jarimah qodzaf dalam hukum pidana islam dan
hukum pidana positif? Untuk lebih jelasnya mengenai jarimah qodzaf dalam
hukuman pidana islam dan hukum pidana positif akan penulis paparkan dalam
pembahasan di bawah ini.
II.
PERMASALAHAN
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka permasalahan yang akan penulis bahas dalam
makalah ini adalah:
- Apakah pengertian qodzaf?
- Bagaimanakan pembuktian jarimah qodzaf?
- Bagaimanakah hukuman (hadd) jarimah qodzaf?
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Qodzaf
Asal makna qodzaf adalah “arramyu” artinya melempar,
umpamanya dengan batu atau lainnya,[1]
ini bisa dilihat dari firman Allah
dalam surat Thaha ayat 39, sebagai berikut:
Artinya “Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti,
Kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke
tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. dan Aku Telah
melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh
di bawah pengawasan-Ku.”
Arti qodzaf dalam kaitannya dengan zina dipetik dari firman
Allah tersebut, sedangkan qodzaf yang dimaksud di sini adalah qodzaf zina yang
arti syar’i yaitu menuduh zina.[2]
Dalam istilah syara’ qodzaf ada 2 macam:
1. Qodzaf yang diancam dengan hukuman hadd
“Adalah
menuduh orang muhson dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya.”
2.
Qodzaf yang diancam hukuman ta’zir
“Adalah
menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya,
baik orang yang tertuduh itu muhson maupun ghairu muhson.”
Contoh:
tuduhan yang sharih (jelas/tegas) seperti “engkau orang yang berzina”
adapun contoh tuduhan yang tidak jelas (dilalahnya) seperti menasabkan
seseorang kepada orang lain yang bukan ayahnya.[3]
Untuk
menjatuhkan hukuman dera bagi qadzif terdapat beberapa syarat, diantaranya:
1. Syarat pada qadzif
Mengenai qadzif (orang yang menuduh orang lain
berzina), fuqaha telah sependapat bahwasannya ada dua syarat yang harus
dipenuhi, yaitu dewasa dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka
atau hamba sahaya, orang muslim atau non muslim.[4]
Dalam keadaan ikhtiyar tidak dipaksa pihak lain.
2. Syarat pada maqdzuf
Mengenai maqduf (orang yang dituduh berzina), fuqaha
telah sependapat bahwa diantara syaratnya adalah berhimpunnya lima sifat
padanya, yaitu: dewasa, merdeka, kehormatan diri, Islam dan padanya terdapat
alat untuk berzina. Jika salah satu dari sifat-sifat itu tidak ada, maka tidak
dikenakan hukuman hadd.[5]
Jumhur fuqoha seluruhnya menyepakati syarat merdeka pada maqdzuf,
tetapi kemungkinan ada perselisihan padanya. Imam Malik mensyaratkan adanya
kemampuan bersetubuh pada usia perempuan maqdzuf.
Dengan demikian berarti apabila zina dilakukan oleh orang
yang tidak berakal atau gila, maka yang menuduh zina tidak dapat dijatuhi
hukuman dera, karena sesungguhnya hukuman dera itu dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya bahaya yang diterima dengan sakit hati oleh sitertuduh. Padahal
orang gila sama sekali tidak ada bahaya yang diterimanya dengan sakit hati bila
tertuduh zina.[6]
Apabila dilihat dari sudut niatnya, jika perbuatan yang
dilakukan oleh orang gila, stress, lalai, atau tidur tidaklah termasuk ke dalam
golongan perbuatan yang harus disertai niat, maka apabila perbuatan tersebut
berupa ketaatan, maka yang melakukan hal tersebut tidak akan mendapat ganjaran
pahala. Dan jika perbuatan-perbuatan tersebut berupa maksiat, maka orang yang
melakukannya juga tidak akan mendapat ganjaran dosa.
2. Pembuktian Jarimah
Qodzaf
Jarimah qodzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam ala bukti,
yaitu sebagai berikut:
a. Dengan saksi
Saksi merupakan alat bukti untuk jarimah qodzaf,
syarat-syarat saksi dalam jarimah ini sama dengan jarimah zina, yaitu:
- Baligh
- Dapat dipercaya
- Adil
- Dan tidak ada penghalang menjadi saksi
- Dapat dipercaya
- Adil
- Dan tidak ada penghalang menjadi saksi
Adapun
jumlah atau banyaknya saksi jarimah qodzaf ini sekurang-kurangnya adalah 4
orang saksi. Sebagaimana dalam surat an-Nur ayat 13:
Atas dasar inilah
jumhur fuqoha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah zina kurang dari 4
orang maka mereka dikenai hukuman hadd sebagai penuduh, walaupun menurut
sebagian yang lain mereka tidak dikenai hadd, selama mereka betul-betul
bertindak sebagai seorang saksi.
Oleh sebab itu, saksi untuk tuduhan zina sungguh sangat
berat, sehingga peristiwa perajaman bagi orang yang berzina dengan empat orang
saksi zaman Nabi saw sampai hari ini belum pernah terjadi, yang terjadi adalah
pengakuan dari pelaku sendiri, seperti kasus Maizd dan wanita Ghamdiyah.
b. Dengan pengakuan
Jarimah qodzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari
pelaku (penuduh). Bahwa yang tertuduh orang lain yang melakukan zina. Pengakuan
cukup dinyatakan 1 kali dalam majelis pengadilan.
c.
Dengan sumpah
Menurut Imam Syafi’i jarimah qodzaf dapat dibuktikan dengan
sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh
(korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa tidak
melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan bersumpah, maka jarimah qodzaf bisa
dibuktikan dengan keengganan untuk bersumpah tersebut. Demikian pula
sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban)
bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan
sumpah maka tuduhan dianggap benar dan dibebaskan dari hukuman hadd
qodzaf.[7]
3. Hukuman (Hadd)
Jarimah Qodzaf
Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina
dapat dilaksanakan dengan syaarat-syarat sebagai berikut:
a.
Hukuman pokok,
yaitu jilid atau dera sebanyak 80 kali. Hukuman ini merupakan
hukuman ini merupakan hukuman hadd, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan
oleh syara’ sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan
pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat.
Menurut Madzab Syafi’i, orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan,
karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut madzab
Hanafi bahwa korban tidak berhak mendapat pengampunan, karena didalam jarimah
qodzaf hak Allah lebih dominan daripada hak manusia.[8]
Akan
tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad membenarkan pembuktian dengan sumpah,
sebagaimana yang dikemukakan oleh madzaf Syafi’i. sebagian ulama Hanafiyah
pendapatnya sama dengan madzaf Syafi’i atau membenarkan pembuktian dengan
sumpah tetapi sebagian lagi tidak membanrkannya. Menurut hemat penulis, bahwa
pembuktian dengan sumpah ini kurang menyakinkan bagi hakim apalagi jarimah yang
hukumannya berat, seperti halnya jarimah qodzaf
b.
Hukuman tambahan, yaitu tidak diterimanya persaksiannya.
Kedua
macam hukuman ini didasarkan pada firman Allah surat an-Nur ayat 4-5:
Artinya
: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Artinya:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
4. Taubatnya Qadzif
dan Gugurnya Hukuman Qodzaf
Para ulama sepakat bahwa selama ia belum bertaubat maka
kesaksiannya tidak dapat diterima karena ia telah melakukan sesuatu yang
menyebabkan kefasikan yang juga mengakibatkan ia tidak dapat dianggap adil,
sedangkan adil merupakan salah satu syarat diterimanya kesaksian seseorang.
Adapun hukuman dera yang telah diterimanya itu meskipun dapat melebur dosa dan
membebaskannya dari adzab akhirat, namun itu bukan berarti dapat menghilangkan
sifat kefasikan, dengan demikian jelaslah bahwa yang dapat menghilangkan sifat
fasik adalah taubat:
a.
Pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, yang
mengatakan bahwa kesaksian dapat diterima bila taubatnya termasuk taubatan
nasuha.
b.
Pendapat Ahnaf Hasan Said bin Jabir Tsauri mengatakan bahwa
kesaksiannya tidak dapat diterima.
Pangkal
perselisihan pendapat tersebut adalah pada penafsiran ayat 4-5 surat an-Nur
sebagai berikut:
a.
Ulama yang menafsirkan bahwa pengecualian dalam ayat tersebut
kembali pada masalah persaksian dan kefasikan, maka mereka berpendapat
kesaksiannya dapat diterima.
b.
Ulama yang menafsirkan bahwa pengecualian dalam ayat
tersebut hanya kembali kepada masalah kefasikan, maka mereka bependapat
kesaksiannya tidak dapat diterima.
Oleh karena itu jika qodzif menerima hukum cambuk 80
kali, menyesal dan berjanji bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan itu lagi di
masa yang akan datang, maka hak sipilnya dalam memberikan kesaksian dapat
dipilih kembali. Tapi Imam Abu Hanifah mengemukakan pertimbangan yang berbeda
dan lebih berat. Bahwa lebih baik dari pada hukuman cambuk 80 kali maupun
dicabutnya hak memberi kesaksian tak dapat dibatalkan dengan penyesalan.
Hukuman
(hadd) qodzaf dapat gugur karena hal-hal sebagai berikut:[9]
Karena para saksi yang diajukan oleh orang yang dituduh mencabut kembali
persangkaannya.
a.
Karena orang yang dituduh melakukan zina dan membenarkan
tuduhan tersebut.
b.
Karena yang tertuduh zina tidak dapat mempercayai para saksi
(menurut Imam Abu Hanifah).
c.
Karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan
hukuman juga menurut Imam Abu Hanifah.
IV.
ANALISIS
Jika qodzif tidak bisa menunjukkan bukti atas kebenaran
tuduhannya, maka ia wajib diberi hukuman yang bersifat materi yaitu didera 80
kali dan hukuman tambahan yaitu tidak diterima kesaksiannya,[10]
karena sudah tidak adil lagi menurut Allah sebagaimana disebutkan dalam QS.
surat an-Nur ayat 4-5.
Sedangkan dalam hukum pidana positif hukuman qodzaf diatur
dalam pasal 310 ayat 1 KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa yang sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp.
4.500,00- .[11]
Hukuman yang diberikan hakim kepada para penghina atas
(penuduh zina) yang terdapat dalam pasal 301 ayat 1 KUHP sudah termasuk hukuman
yang sedikit banyak membuat jera pelakunya, dibandingkan dengan hukuman delapan
puluh pukulan/dera tersebut.
Dengan demikian, hukuman bagi pelaku qodzaf tidak harus
berupa hukuman fisik (badan) semata, tetapi juga ditambah dengan hukuman denda
sebagai alternatifnya.
Dalam jarimah qodzaf ini permalasahan yang perlu kita
analisis adalah mengenai pembuktian dengan 4 orang saksi yang harus diajukan
sebagai bukti atas tuduhan dari qadzif. Hal ini sepertinya sangat sulit untuk
dipenuhi, pasalnya sejak zaman Nabi sampai saat ini belum pernah terjadi atau
ada qadzif yang dapat menghadirkan 4/minimal 2 orang saksi atas tuduhannya, yang
ada adalah pengakuan dari pelaku sendiri, seperti kasus Maizd dan wanita
Ghamdiyah. Maka dari itu menurut hemat penulis, pembuktian 4 saksi tersebut
perlu diinterpretasikan kembali, menginngat banyak alat-alat bukti-bukti
lainnya yang memiliki keotentikan dan kevaliditasan yang setara dengan 4 orang
saksi, misalnya: hasil visum dari kedokteran, tes DNA, rekaman (audio/vidio),
dan foto-foto serta alat-alat lainnya hasil perkembangan teknologi modern yang
dapat dijadikan bukti. Karena menurut penulis pembuktian dengan alat-alat bukti
teknologi modern jauh lebih relevan dan logis, tentunya tanpa harus menafikan
pembuktian klasik sebagaimana yang dijelaskan di atas.
V.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa qodzaf dalam
hukum pidana Islam meliputi:
- Qodzaf yang diancam dengan hukuman hadd adalah adalah menuduh orang muhson dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang menghilangkan nasabnya.
- Qodzaf yang diancam hukuman ta’zir adalah menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang tertuduh itu muhson maupun ghairu muhson.
Hukuman (hadd) bagi pelaku jarimah qodzaf adalah dera
sebanyak 80 kali sebagai hukuman pokok dan tidak diterima persaksiannya sebagai
hukuman tambahan. Adapun untuk pembuktian Jarimah qodzaf ini yaitu: dengan
saksi, pengakuan, dan dengan sumpah.
Sedangkan dalam hukum pidana positif hukuman qodzaf diatur
dalam pasal 310 ayat 1 KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa yang sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak Rp.
4.500,00- .[12]
Hukuman yang diberikan hakim kepada para penghina atas
(penuduh zina) yang terdapat dalam pasal 301 ayat 1 KUHP sudah termasuk hukuman
yang sedikit banyak membuat jera pelakunya, dibandingkan dengan hukuman delapan
puluh pukulan/dera tersebut.
Dengan demikian, hukuman bagi pelaku qodzaf tidak harus
berupa hukuman fisik (badan) semata, tetapi juga ditambah dengan hukuman denda
sebagai alternatifnya.
Pembuktian 4 saksi tersebut perlu diinterpretasikan
kembali, menginngat banyak alat bukti lainnya yang memiliki keotentikan
dan kevaliditasan yang setara dengan 4 orang saksi, misalnya: hasil visum dari
kedokteran, tes DNA, rekaman (baik audio/vidio), dan foto-foto
serta alat-alat lainnya hasil perkembangan teknologi modern yang dapat
dijadikan bukti. Karena menurut penulis pembuktian dengan alat-alat bukti
teknologi modern jauh lebih relevan dan logis,
tentunya tanpa harus menafikan pembuktian klasik sebagaimana yang dijelaskan di
atas.
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah dari kami, dan yang tertuang dalam
makalah ini, menurut penulis bukanlah hal yang sempurna kebenarannya, akan
tetapi ini adalah bagian dari proses pembelajaran menuju kebenaran. Oleh karena
itu penulis masih sangat mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman yang
berpartispasi dan berperan aktif dalam forum diskusi ini. Semoga bermanfaat
bagi kita semua. Amien.
Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qodir, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islam,
Beirut, Muasash Ar-Risalah, tt.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Juz II, Beirut, cet II,
1980.
Terjemah Fiqh Sunnah , cet I, Bandung, PT. Al-Ma’arif,
19984.
al-Qurthubi, M. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujathid, Juz
II, Dar al-Fikr, tt.
Terjemah Bidayatul Mujtahid, alih bahasa M. Abdurahman dan A.
Haris Abdullah, Semarang, Asy-Syifa’, 1990.
Muslich, A. Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar
Grafika, 2005.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Juz VI, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989.
RI, Depag, al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid VII, PT. Partja, Jakarta,
1986.
Al-Aziz, Saifullah, Fikih Islam Lengkap, Surabaya,
Terang, 2005.
Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam (Kajian
tentang Formulasi Sanksi Hukum Pidana Islam), Pusat
Penelitian IAIN Walisongo, Semarang, 2005.
COMMENTS