Wudhu dan Bersuci Thaharoh. (Foto. Repro) Thaharah Makalah Fiqh Ibadah Dosen Pengampu : Rustam D. K. A. H, M. Ag Disu...
Thaharah
Makalah Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu : Rustam D.
K. A. H, M. Ag
Disusun Oleh :
Siti Nur Wakhidah
Abid Mansyurudin
Ahmad Arif Hidayat
Ahmad Mustaghfirin
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2013
i.
Pendahuluan
Agama
Islam merupakan Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan
bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan
diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara
mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka
tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya
adalah kesia-siaan.
Perhatian Islam atas
dua jenis kesucian itu -hakiki dan maknawi- merupakan bukti otentik tentang
konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri
hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.
4.2. Islam
Memperhatian Pencegahan Penyakit
Termasuk juga bentuk
perhatian serius atas masalah kesehatan baik yang bersifat umum atau khusus.
Serta pembentukan pisik dengan bentuk yang terbaik dan penampilan yang
terindah. Perhatian ini juga merupakan isyarat kepada masyarakat untuk mencegah
tersebarnya penyakit, kemalasan dan keengganan.
Sebab wudhu' dan mandi
itu secara pisik terbukti bisa menyegarkan tubuh, mengembalikan fitalitas dan
membersihkan diri dari segala kuman penyakit yang setiap saat bisa menyerang
tubuh.
Secara ilmu kedokteran
modern terbukti bahwa upaya yang paling efektif untuk mencegah terjadinya wabah
penyakit adalah dengan menjaga kebersihan. Dan seperti yang sudah sering
disebutkan bahwa mencegah itu jauh lebih baik dari mengobati
4.3. Orang
Yang Menjaga Kebersihan Dipuji Allah
Allah SWT telah memuji
orang-orang yang selalu menjaga kesucian di dalam Al-Quran Al-Kariem.
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihan diri.
(QS. Al-Baqarah : 222).
لاَ
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ
أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Di
dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri Dan Allah menyukai orang
yang membersihkan diri. (QS. An-Taubah : 108)
Sosok pribadi muslim
sejati adalah orang yang bisa menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif
di tengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun
maupun batin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada jamaah dari shahabatnya :
Kalian
akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah
penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia
(menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji.
(HR. Ahmad)
4.4. Kesucian Itu
Sebagian Dari Iman
Rasulullah SAW telah
menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai dan derajat
keimanan seseorang. Bila urusan kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan
sebaliknya, bila masalah kesucian ini tidak diperhatikan, maka kulitas imannya
sangat dipertaruhkan.
الطَّهُوْرُ
شَطْرُ الإِيْمَانِ
Kesucian
itu bagian dari Iman (HR. Muslim)
4.5. Kesucian Adalah
Syarat Ibadah
Selain menjadi bagian
utuh dari keimanan seseorang, masalah kesucian ini pun terkait erat dengan syah
tidaknya ibadah seseorang. Tanpa adanya kesucian, maka seberapa bagus dan
banyaknya ibadah seseorang akan menjadi ritual tanpa makna. Sebab tidak
didasari dengan kesucian baik hakiki maupun maknawi.
Rasulullah SAW
bersabda :
مِفْتَاحُ
الصَّلاةِ الطَّهُورُ
وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ - رَوَاهُ
الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
Dari Ali
bin Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kunci shalat itu adalah kesucian,
yang mengharamkannya adalah takbir dan menghalalkannya adalah salam`.(HR. Abu Daud,
Tirmizi, Ibnu Majah)[1].
ÿ
THAHARAH
Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas) seperti tersebut dalam al-Qur’an :
Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas) seperti tersebut dalam al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang mensucikan diri. (al-Baqarah/2:222)
Menurut syara’, thaharah itu ialah mengangkat
(menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadas atau najis. Dengan demikian
thaharah syar’i terbagi menjadi 2 macam, yaitu thaharah dari hadas dan thaharah
dari najis. Hadas ialah keadaan tidak suci yang dialami seseorang sehingga
menyebabkan terhalang untuk melaksanakan ibadah. Thaharah dari hadas ada 3
macam yaitu wudlu, mandi, tayamum.
1. Pengertian
Namun
yang dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah para
ahli fiqih adalah :
§ (عبارة عن غسل
أعضاء مخصوصة بصفة مخصوصة), yaitu mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu.
Dalam
pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus,
yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah. Air
merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga
berfungsi sebagai media untuk menghilangkan hadats.
Meski
benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang
utama. Sebagai contoh adalh tanah. Tanah memang dapat berfungsi untuk
menghilangkan najis, tetapi yang utama tetap air. Najis berat seperti jilatan anjing, disucikan
dengan air 7 kali, tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan
untuk bertayammum, namun selama masih ada air, tayammum masih belum dikerjakan.
Maka
ketika kita berbicara tentang thaharah, bab tentang air menjadi bab yang tidak
bisa disepelekan.
1. Empat Keadaan Air Dalam Thaharah
Namun
demikian, tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air
yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci.
Para
ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya
untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab
fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam,
yaitu :
·
air
mutlaq
·
air
musta’mal
·
air
yang tercampur benda yang suci
·
air
yang tercampur dengan benda yang najis.
Berikut ini adalah
penjabarannya secara ringkas :
1.1. Air Mutlaq
Air
mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih
asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau
pun benda najis.
Air
mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk
digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih
dikenal dengan istilah طاهر
لنفسه مطهر لغيره thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.
Air
yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan
untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi,
misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya.
Namun
belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau
mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang
mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk
dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :
1.1.1. Air Hujan
Air hujan yang turun dari langit
hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan
berarti bisa digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau membersihkan najis
pada suatu benda.
Meski
pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam
yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah, sebab kerusakan pada air hujan
diakibatkan oleh polusi dan pencemaran ulah tangan manusia dan zat-zat yang
mencemarinya itu bukan termasuk najis.
Ketika
air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air
itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau
najis.
Sebab
ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses
pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun
kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan
alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.
Hanya
saja udara kota yang tercemar dengan asap industri, kendaraan bermotor dan
pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun,
terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.
Namun
meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum air, air hujan itu tetap
suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan
termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan,
namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah, tercampurnya air hujan
dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air
yang suci dan mensucikan.
Apalagi
polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja seperti perkotaan
yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak
langit yang biru dan bersih sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih
sehat. Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT
telah berfirman :
إِذْ
يُغَشِّيكُمُالنُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءًلِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ
عَلَىقُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh
dengannya telapak kaki. (QS. Al-Anfal : 11)
وَهُوَ
الَّذِي أَرْسَلَالرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ
السَّمَاءِ مَاءًطَهُورًا
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira
dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat
bersih. (QS. Al-Furqan : 48)
1.1.2. Salju
Salju
sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari
langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju
yang intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai salju.
Hukumnya
tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang
mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju
yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk
bersuci, baik wudhu`, mandi atau lainnya.
Tentu
saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits
Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga
fungsinya sebagai media mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah
satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan
dari dosa dengan air, salju dan embun.
اللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَاكَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ
، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَاطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ مِنَ الدَّنَسِ
،اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطاَيَا بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda
ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau
menjawab,"Aku
membaca,"Ya
Allah, Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan
antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku
sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud
781 dan Nasai 60)
1.1.3. Embun
Embun
juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan
yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat
banyak di hamparan kedaunan pada pagi hari.
Maka
tetes embun yang ada pada dedaunan atau pada barang yang suci, bisa digunakan
untuk mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan najis.
Dalilnya
sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu
Hurairah ra.
1.1.4. Air Laut
Air
laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk
berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).
Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski
pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun
hukumnya sama dengan air hujan, air embun atau pun salju. Bisa digunakan untuk
mensucikan. Sebelumnya para shahabat Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air
laut itu, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan
bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum, mereka berijtihad
untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya
kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu`. Lalu Rasulullah SAW
menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.
عَنِ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُقَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ s فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا
نَرْكَبُ البَحْرَوَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بمِاَءِ البَحْرِ ؟ فَقَالَرَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم : هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ
الحِلُّ مَيْتَتُهُ رواه الخمسة .
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya
kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa
sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan.
Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu
suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah
386, An-Nasai 59, Malik 1/22)[4].
Hadits
ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan, dan kalau
mati menjadi bangkai, bangkainya tetap suci.
1.1.5. Air Zam-zam
Air
Zam-zam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata
air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air
pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya
pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu.
Bolehnya
air zam-zam untuk digunakan bersuci atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah
SAW dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
ثُمَّ
أَفَاضَرَسُولُ اللَّهِ s فَدَعَا بِسِجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW
meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya
untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).
Selain
boleh digunakan untuk bersuci, disunnahkan buat kita untuk minum air zam-zam,
lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.
Namun
para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk
membersihkan najis, menjadi 3 pendapat :
§ Pendapat Pertama
Mazhab
Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu
berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau
digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang
sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn
najis dengan air zamzam.
§ Pendapat Kedua
Mazhab
Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam
digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya
sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh
digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun
menghilangkan najis dan kotoran pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu
tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.
§ Pendapat Ketiga
Imam
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat
adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air
zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah),
apalagi untuk membersihkan najis.
Pendapat
ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu
anhu :
لاَ
أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ لِشَارِبٍ أَوْ
لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Aku
tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air
zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'
1.1.6.. Air Sumur atau Mata Air
Air
sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab
air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa
memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan
barang dari najis.
Dalil
tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha`ah
yang terletak di kota Madinah.
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍالْخُدْرِيِّ قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَتَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِبُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ
وَلُحُومُ الْكِلابِ وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ s : الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ
يُنَجِّسُهُشَيْءٌ . رَوَاهُ أَحْمَدَ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang
bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?,
padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya
daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan
tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325,
Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)[5].
1.1.7. Air Sungai
Sedangkan
air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air
sumur atau mata air. Sejak dahuu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau
membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.
Namun
seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi,
terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah
beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air
yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka sebaiknya kita
tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar.
Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak,
limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga
lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu
menjadi najis meski jumlahnya banyak.
Sebab
meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus
menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa
dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak
syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila
benar-benar terasa rasa, aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.
Namun
umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut, sebab jumlah air laut jauh lebih
banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang
menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.
2.1. Air Musta’mal
Jenis
yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci.
Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga
air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk
lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.
Kata
musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan. Maka air
musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah,
yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air
musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka
atau bekas digunakan untuk keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi
janabah.
Air
sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan
mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan.
Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan
untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu
bagaimana hukum menggunakan air musta'mal ini? Masih bolehkah sisa air yang
sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu
atau mandi janabah?
Dalam
hal ini memang para ulama berbeda pendapat, apakah air musta’mal itu
boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.
Perbedaan
pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima
dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ض قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari
Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali
seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub.
(HR. Muslim)[6]
وَلِلْبُخَارِيِّ:
لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي, ثُمَّ
يَغْتَسِلُ فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ:
"مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ .
”Janganlah
sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia
mandi di dalam air itu”.[7]
Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”.[8]
Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu.
(HR. Muslim)[9]
وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ
اَلنَّبِيَّ ص قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ s أن تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ أَوْ اَلرَّجُلُ
بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا- َخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ.
وَالنَّسَائِيُّ
Dari
seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang
seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan
melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan.
Hendaklah mereka masing-masing menciduk air.
(HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)[10]
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ s كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari
Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR.
Muslim)[11]
وَلأَصْحَابِ
اَلسُّنَنِ"اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ s فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ
مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ اَلْمَاءَ لاَ
يُجْنِبُ
Riwayat
Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember
kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi
mandi janabat, maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”. [12]
Namun
kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta’mal di antara
fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.
Sekarang
mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para
fuqaha tentang pengertian air musta'mal, atau bagaimana suatu air itu
bisa sampai menjadi musta'mal :
a. Ulama Al-Hanafiyah [13]
Menurut
mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh
saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum
musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Air
musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk
shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah
atau mandi sunnah.
Sedangkan
air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal
ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis,
tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
b. Ulama Al-Malikiyah [14]
Air
musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah
wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk
menghilangkan khabats (barang najis).
Dan
sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal
hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun
yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu
suci dan mensucikan.
Artinya,
bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama
ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah[15]
Air
musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah
digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu
menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat
untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian
dari sunnah wudhu`.
Namun
bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka
belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air
mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya
orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau
sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air
musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu`
atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak
mensucikan.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air
musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk
menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan
untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain
itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila
air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka
ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang
bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak
ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`.
Dan
selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum
dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang
sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan
pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan air yang
sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab
ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang
jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak
mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para
ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairu) musta'mal,
membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk
bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal.
Bila
volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari
kemungkinan musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski
telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air
musta'mal.
Dasarnya adalah sabda
Rasulullah SAW :
عَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ s إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW
telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak
mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak
najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)[16]
Hadits
inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah, yang menjadi
batas volume air sedikit.
Disebutkan
di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan
air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran
volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim
digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair
dengan liter, kubik atau barrel.
Sedangkan
istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih
hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun
sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan
ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya,
ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl
buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang
Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam
banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah
500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti
itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan
ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.
Lucunya,
begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang
namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian,
mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda
karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan
volume 1 rithl Syam.
Lalu
sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran
international dimasa sekarang ini?
Para
ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang.
Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.[17]
Jadi bila
air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk
berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk
berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal.
Air
itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau
mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka
tidak dikategorikan air musta’mal.
2.3. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci
Jenis
air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang
yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan
sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat
padanya.
Namun
bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu
hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski
air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu
sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang
seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak
sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap
suci.
Demikian
juga dengan air yang dicampur dengan kaldu daging, irisan daging dan
bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar dari karakter kemutalakannya.
Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai air, melainkan kita sebut
'kuah bakso'. Tentu saja kita tidak dibenarkan berwudhu dengan kuah bakso.
Hal
yang sama terjadi pada kasus air yang dicampur dengan benda lain, seperti teh
tubruk, kopi, wedhang ronde, santan kelapa, kuah gado-gado, kuah semur dan opor
dan seterusnya, meski semua mengandung air dan tercampur dengan benda suci,
namun air itu mengalami perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya.
Sehingga air itu meski masih suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.
Tentang
kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan
kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak
dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur
barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880
dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan
kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan
sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang
tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama
Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung.
(HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)
2.4. Air Mutanajjis
Air mutanajjis artinya
adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis.
Air yang tercampur dengan benda
najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga
atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut
tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami
perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu
sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit
seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke
dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis
atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan
benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Tapi dalam kasus bangkai anjing
itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu
menjadi berubah najis. apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah
tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah
volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di
dekat-dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka
hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air
yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau
tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau
aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum
air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul
Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria
di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu
sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab
kampung) yang kencing di dalam masjid :
عَنْ
أَبيِ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَامَأَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ
إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ
فَقَالَ النَّبِيُّ s دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ
سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ , فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ
مُيَسِّرِينَ وَلمَْتُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ - رواه الجماعة إلا مسلما
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah
masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya
namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat
kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan
dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147
An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang
bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW
menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66,
At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)[18].
2. Keadaan Air Lainnya
2. 1. Air Musakhkhan Musyammasy
Air
musakhkhan (مسخن) artinya adalah air yang dipanaskan.
Sedangkan musyammas (مشمس) diambil dari kata syams yang artinya
matahari.
Jadi
air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas
akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan
pemanas listrik, tidak termasuk ke dalam pembahasan disini.
Hukum
air ini untuk digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.
a. Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat
ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau
air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan
tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah
seperti Ar-Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.[19]
b. Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat
ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara
mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang
muktamad, sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.
Pendapat
yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin
Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang
dipanaskan oleh sinar matahari.
أَنَّهُ
كَانَ يَكْرَهُ الإِغْتِسَالَ باِلمَاءِ المُشَمَّس
Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan
air musyammas (HR. Asy-Syafi'i)[20].
Larangan
ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar
matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan, sebagaimana
dikatakan oleh para pendukungnya sebagai (يورث البرص), yakni mengakibatkan penyakit belang.
لاَ
تَفْعَليِ يَا حُمَيْرَاء فَإِنَّهَا يُوْرِثُ البَرَص
Jangan lakukan itu wahai Humaira' karena dia akan
membawa penyakit belang.
(HR. Ad-Daruquthuny)[21]
Kemakruhan
yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan, bukan
pada wilayah syariah.
Namun
mereka yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas
musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah, manakala
dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi
Arabia). Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di
Mesir atau Rum, hukum makruhnya tidak berlaku.[22]
2.2. Air Musakhkhan Ghairu Musyammasy
Musakhkhan
ghairu musyammasy
artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari
langsung.
Al-Malikiyah
dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan
wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan.
Bahkan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas
lantaran panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk
berthaharah.
Namun
bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu
dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh),
hukumnya menjadi makruh, bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.[23]
1.Wudlu
Menurut lughat, wudlu adalah
perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh terten tu, sedangkan secara
syara’, wudlu ialah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat.
Hadits
Rasul SAW
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Artinya : “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmidzi )
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Artinya : “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmidzi )
Syarat sahnya wudlu ialah :
1.Islam
2.Tamyiz
3.Air mutlak
4.Tidak yang menghalangi, baik hissy maupun syar’i
5.Masuk waktu shalat
Fardlu wudlu ialah :
1.Niat
2.Membasuh muka
3.Membasuh kedua tangan sampai siku
4.Mengusap sebagian kepala
5.Membasuh kedua kaki
6.Tertib
Sunnah wudlu ialah :
1.Membaca basmalah pada awal mengerjakan wudlu
2.Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan, sebanyak 3 kali sebelum berumur- kumur walaupun diyakini bahwa tangannya itu bersih
3.Berkumur-kumur
4.Istinsyaq
5.Meratakan basuhan ke seluruh kepala
6.Mengusap kedua telinga
7.Menyela-nyela jenggot dengan jari
Hal-hal yang membatalkan wudlu ialah :
1.Keluar sesuatu dari qubul atau dubur
2.Tidur
3.Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk atau sebab lainnya
4.Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan
5.Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan tanpa alas
1.Islam
2.Tamyiz
3.Air mutlak
4.Tidak yang menghalangi, baik hissy maupun syar’i
5.Masuk waktu shalat
Fardlu wudlu ialah :
1.Niat
2.Membasuh muka
3.Membasuh kedua tangan sampai siku
4.Mengusap sebagian kepala
5.Membasuh kedua kaki
6.Tertib
Sunnah wudlu ialah :
1.Membaca basmalah pada awal mengerjakan wudlu
2.Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan, sebanyak 3 kali sebelum berumur- kumur walaupun diyakini bahwa tangannya itu bersih
3.Berkumur-kumur
4.Istinsyaq
5.Meratakan basuhan ke seluruh kepala
6.Mengusap kedua telinga
7.Menyela-nyela jenggot dengan jari
Hal-hal yang membatalkan wudlu ialah :
1.Keluar sesuatu dari qubul atau dubur
2.Tidur
3.Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk atau sebab lainnya
4.Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan
5.Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan tanpa alas
1. Pengertian
Kata
wudhu' (الوُضوء) dalam bahasa Arab berasal dari kata
al-wadha'ah (الوَضَاءَة) yang bermakna al-hasan (الحسن), yaitu kebiakan, dan juga sekaligus bermakna an-andzafah (النظافة), yaitu kebersihan.
Secara
istilah fiqih, para ulama mazhab mendefinisikan wudhu menjadi beberapa
pengertian, antara lain :
الوضوء
: الغسل والمسح على أعضاء مخصوصة
Wudhu adalah : membasuh dan
menyapu dengan air pada anggota badan tertentu.[24]
الوضوء
: طهارة مائية تتعلق بأعضاء مخصوصة -وهي أعضء أربعة- على وجه مخصوص
Wudhu'
adalah thaharah dengan menggunakan air yang mencakup anggota badan tertentu,
yaitu empat anggota badan, dengan tata cara tertentu. [25]
الوضوء
: استعمال الماء في أعضاء مخصوصة مفتتحا بالنية
Wudhu'
adalah penggunaan air pada anggota badan tertentu dimulai dengan niat.[26]
الوضوء
: استعمال ماء طهور في أعضاء أربعة (وهي الوجه واليدان والرأس والرجلان) على صفة
مخصوصة في الشرع بأن يأتي بها مرتبة مع باقي الفروض
Wudhu' adalah : penggunaan air
yang suci pada keempat anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan, kepala dan
kedua kaki, dengan tata cara tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan
secara berurutan dengan sisa furudh.[27]
Sedangkan
kata wadhuu' (الوَضوء) bermakna air yang digunakan untuk
berwudhu'.
Wudhu'
adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats kecil dengan
menggunakan media air. Yaitu dengan cara membasuh atau mengusap beberapa bagian
anggota tubuh menggunakan air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan
sebagai sebuah ritual khas atau peribadatan.
Bukan
sekedar bertujuan untuk membersihkan secara pisik atas kotoran, melainkan
sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata aturannya lewat wahyu dari langit
dari Allah SWT.
2. Masyru'iyah
Wudhu
sudah disyariatkan sejak awal mula turunnya Islam, yaitu bersamaan dengan
diwajibkannya shalat di Mekkah, jauh sebelum masa isra' miraj ke langit.
Malaikat Jibril alaihissalam mengajarkan Nabi SAW gerakan shalat, dan
sebelumnya dia mengajarkan tata cara wudhu terlebih dahulu.
Kewajiban
wudhu' didasarkan pada Al-Quran Al-Kariem, Sunnah An-nabawiyah dan juga ijma'
para ulama.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki...(QS. Al-Maidah : 6)
Sedangkan
dari As-Sunnah An-Nabawiyah, salah satu yang jadi landasan masyruiyah wudhu
adalah hadits berikut ini :
عَنْ
أَبيِ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ s قَالَ : لاَ صَلاَةَ لمَِنْ لاَ وُضُوْءَ
لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لمَِنْ لاَ يَذْكُر اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ . رواه أحمد وأبو داود
وابن ماجه
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi SAW
bersabda,"Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu'
bagi yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan
para ulama seluruhnya telah berijma' atas disyariatkannya wudhu buat orang yang
akan mengerjakan shalat bilamana dia berhadats.
3. Hukum Wudhu
Wudhu`
itu hukumnya bisa wajib dan bisa sunnah, tergantung konteks untuk apa kita
berwudhu`.
3.1. Fardhu / Wajib
Hukum
wudhu` menjadi fardhu atau wajib manakala seseorang akan melakukan hal-hal
berikut ini :
a. Melakukan Shalat
Baik shalat wajib maupun shalat
sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al-Quran
Al-Kariem berikut ini :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki...(QS. Al-Maidah : 6)
Juga hadits Rasulullah
SAW berikut ini :
عَنْ
أَبيِ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ s قَالَ : لاَ صَلاَةَ لمَِنْ لاَ وُضُوْءَ
لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لمَِنْ لاَ يَذْكُر اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ . رواه أحمد وأبو داود
وابن ماجه
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi SAW
bersabda,"Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu'
bagi yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Shalat
kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu`) (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Menyentuh Mushaf
Meskipun tulisan ayat Al-Quran
Al-Kariem itu hanya ditulis di atas kertas biasa atau di dinding atau ditulis
di pada uang kertas. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang didasarkan kepada
ayat Al-Quran Al-Kariem.
لاَ
يَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُون
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang
suci. (QS. Al-Waqi`ah : 79)
Serta hadits Rasulullah SAW
berikut ini :
وَعَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ
اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ لِعَمْرِو
بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ - رَوَاهُ مَالِكٌ
مُرْسَلاً, وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَهُوَ مَعْلُولٌ
Dari Abdullah bin Abi Bakar
bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm
tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR.
Malik).[28]
c. Tawaf di Seputar Ka`bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa
hukum berwudhu` untuk tawaf di ka`bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal
itu didasari oleh hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
Dari
Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tawaf di Ka`bah itu adalah shalat,
kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau
bicara saat tawaf, maka bicaralah yang baik-baik.(HR.
Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Tirmizy)
3.2. Sunnah
Sedangkan yang bersifat sunnah
adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini :
a.
Mengulangi wudhu` untuk tiap shalat
Hal itu didasarkan atas hadits
Rasulullah SAW yang menyunnahkan setiap akan shalat untuk memperbaharui wudhu`
meskipun belum batal wudhu`nya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْالنَّبِيِّ s قَالَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتِيلأَمَرْتهمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ بِوُضُوءٍ , وَمَعَ كُلِّ وُضُوءٍ
بِسِوَاكٍ رَوَاهُ
أَحْمَدُ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan
untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak.(HR. Ahmad dengan isnad yang shahih)
Selain itu disunnah bagi tiap
muslim untuk selalu tampil dalam keadaan berwudhu` pada setiap kondisinya, bila
memungkinkan. Ini bukan keharusan melainkah sunnah yang baik untuk diamalkan.
وَلَنْ
يُحَافِظ عَلَى الوُضُوءِ إِلاَّالمُؤْمِن
Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tidaklah
menjaga wudhu` kecuali orang yang beriman`. (HR. Ibnu
Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi)
b.
Menyentuh Kitab-kitab Syar`iyah
Seperti kitab tafsir, hadits,
aqidah, fiqih dan lainnya. Namun bila di dalamnya lebih dominan ayat Al-Quran
Al-Kariem, maka hukumnya menjadi wajib.[29]
c.
Ketika Akan Tidur
Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah menyatakan bahwa berwuhu ketika akan tidur adalah sunnah, sehingga
seorang muslim tidur dalam keadaan suci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
إِذَا
أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى
شَقِّكَ الأَيْمَن - رواه البخاري و مسلم
Dari Al-Barra` bin Azib bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Bila kamu naik ranjang untuk tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana
kamu berwudhu` untuk shalat. Dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu . (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Malikiyah
menyatakan bahwa wudhu sebelum tidur hukumnya mustahab. Dan dalam salah satu
qaul dalam mazhab itu disebutkan bahwa wudhu' junub disunnahkan sebelum
tidur.
Sedangkan Al-Baghawi dari kalangan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa
wudhu menjelang tidur bukan merupakan sesuatu yang mustahab. [30]
d.
Sebelum Mandi Janabah
Sebelum mandi janabat disunnahkan
untuk berwudhu` terlebih dahulu. Demikian juga disunnahkan berwudhu` bila
seorang yang dalam keaaan junub mau makan, minum, tidur atau mengulangi
berjimak lagi. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila
dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur, beliau berwudhu` terlebih
dahulu. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila
ingin tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu`
terlebih dahulu seperti wudhu` untuk shalat. (HR.
Jamaah)
Dan dasar tentang sunnahnya
berwuhdu bagi suami istri yang ingin mengulangi hubungan seksual adalah hadits
berikut ini :
Dari Abi Said al-Khudhri bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Bila kamu berhubungan seksual dengan istrimu dan ingin mengulanginya
lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
e.
Ketika Marah
Untuk meredakan marah, ada dalil
perintah dari Rasulullah SAW untuk meredakannya dengan membasuh muka dan
berwudhu`.
Bila kamu marah, hendaklah kamu berwudhu`. (HR.
Ahmad dalam musnadnya)
f.
Ketika Membaca Al-Quran
Hukum berwudhu ketika membaca
Al-Quran Al-Kariem adalah sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan menyentuh mushaf
menurut jumhur. Demikian juga hukumnya sunnah bila akan membaca hadits
Rasulullah SAW serta membaca kitab-kitab syariah. [31]
Diriwayatkan bahwa Imam Malik
ketika mengimla`kan pelajaran hadits kepada murid-muridnya, beliau
selalu berwudhu` terlebih dahulu sebagai takzim kepada hadits Rasulullah SAW.
g.
Ketika Melantunkan Azan dan Iqamat
Para ulama sepakat disunnahkannya
wudhu untuk orang yang melakukan adzan. Namun mereka berbeda pendapat bila
dilakukan oleh orang yang mengumandangkan iqamat. [32]
h.
Dzikir
Keempat mazhab yaitu
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat
dsunnahkannya wudhu ketika berdzikir.[33]
i.
Khutbah
Jumhur ulama mengatakan bahwa
wudhu untuk khutbah hukumnya mustahab. Lantaran Nabi SAW tiap selesai khutbah,
langsung melakukan shalat tanpa berwudhu' lagi. Setidaknya, hukumnya menjadi
sunnah.
Sedangkan dalam pandangan mazhab
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah, berwudhu pada khutbah Jumat merupakan syarat
sah. [34]
j.
Ziarah Ke Makam Nabi SAW
Para ulama menyepakati bahwa
ketika seseorang berziarah ke makam Nabi SAW, maka disunnahkan atasnya untuk
berwudhu. Berwudhu yang dilakukan itu merupakan bentuk pentakdzhiman atas diri
Rasulullah SAW.
Selain itu karena letaknya hari
ini yang berada di dalam masjid, maka secara otomatis, memang sudah disunnahkan
untuk berwudhu sebelumnya. [35]
4. Wudhu’ Rasulullah SAW
Ada pun tata cara wudhu yang
dicontohkan Rasulullah SAW, bisa kita baca dari hadits berikut ini :
عَنْ
حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ
كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ
غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى
اَلْمِرْفَقِِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ
بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلاثَ
مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ
اَللَّهِ s تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا -
مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Humran bahwa
Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta seember air, kemudian beliau mencuci kedua
tapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur, memasukkan air ke hidung dan
mengeluarkannya. Kemudian beliau membasuh wajarnya tiga kali, membasuh tanggan
kanannya hingga siku tiga kali,kemudian membasuh tanggan kirinya hingga siku
tiga kali, kemudian beliau mengusap kepalanya, kemudian beliau membasuh kaki
kanannya hingga mata kaki tiga kali, begitu juga yang kiri. Kemudian beliau
berkata,”Aku telah melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Namun
kalau dilihat sekilas, hadits ini tentu saja belum merinci tentang rukun wudhu,
wajib dan sunnahnya. Semua dikerjakan begitu saja, tanpa dijelaskan detail
rincian hukumnya masing-masing.
Untuk
mengetahuinya, para ulama butuh mengumpulkan ratusan bahkan ribuan hadits
lainnya yang terkait dengan wudhu juga, sehingga akhirnya didapat
kesimpulan-kesimpulan, baik terkait dengan rukun, wajib, sunnnah dan hal-hal
yang membatalkan wudhu.
5. Rukun Wudhu`
Para ulama berbeda pendapat
ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang
tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan
dalil dari Sunnah.
§ Mazhab Hanafi
Menurut
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang
disebutkan dalam nash Quran
§ Mazhab Maliki
Menurut
Al-Malikiyah rukun wudhu’ itu ada delapan. Yaitu dengan menambahkan dengan
keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau
sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau
membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
§ Mazhab Syafi’i
Menurut
As-Syafi`iyah rukun wudhu itu ada enam perkara. Mazhab ini menambahi keempat
hal dalam ayat Al-Quran dengan niat dan
tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak
boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib
§ Mazhab Hambali
Menurut
mazhab Al-Hanabilah jumlah rukun wudhu ada tujuh perkara, yaitu dengan
menambahkan niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan.
Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang
sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.
Rukun
|
Hanafi
|
Maliki
|
Syafi`i
|
Hanbali
|
1. Niat
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
2. Membasuh wajah
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
3. Membasuh tangan
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
4. Mengusap kepala
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
5. Membasuh kaki
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
6. Tertib
|
x
|
X
|
rukun
|
rukun
|
7. Muwalat
|
x
|
rukun
|
x
|
rukun
|
8. Ad-dalk
|
x
|
rukun
|
x
|
x
|
Jumlah
|
4
|
8
|
6
|
7
|
5. 1. Niat Dalam Hati
Niat wudhu' adalah ketetapan di
dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu'
sesuai dengan apa yang ajarkan oleh Rasulullah SAW dengan maksud ibadah.
Sehingga niat ini membedakan antara seorang yang sedang memperagakan wudhu'
dengan orang yang sedang melakukan wudhu'.
Kalau sekedar memperagakan, tidak
ada niat untuk melakukannya sebagai ritual ibadah. Sebaliknya, ketika seorang
berwudhu', dia harus memastikan di dalam hatinya bahwa yang sedang dilakukannya
ini adalah ritual ibadah berdasar petunjuk nabi SAW untuk tujuan tertentu.
5.2. Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa
batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya'ri)
hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.
5.3. Membasuh kedua tangan hingga siku
Secara jelas disebutkan tentang
keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi. Sebab kata (إلى) dalam ayat itu adalah lintihail ghayah.
Selain itu karena yang disebut dengan tangan adalah termasuk juga sikunya.
Selain itu juga diwajibkan untuk
membahasi sela-sela jari dan juga apa yang ada di balik kuku jari. Para ulama
juga mengharuskan untuk menghapus kotoran yang ada di kuku bila dikhawatirkan
akan menghalangi sampainya air.
Jumhur ulama juga mewajibkan
untuk menggerak-gerakkan cincin bila seorang memakai cincin ketika berwudhu,
agar air bisa sampai ke sela-sela cincin dan jari. Namun Al-Malikiyah tidak
mengharuskan hal itu.
5.4. Mengusap Kepala
Yang dimaksud dengan mengusap
adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi
tangan sebelumnya dengan air. Sedangkan yang disebut kepala adalah mulai dari
batas tumbuhnya rambut di bagian depan
(dahi) ke arah belakang hingga ke bagian belakang kepala.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa
yang wajib untuk diusap tidak semua bagian kepala, melainkan sekadar sebagian
kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.
Sedangkan Al-Malikiyah dan
Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap pada bagian kepala adalah
seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua
telinga baik belakang maupun depannya. Sebab menurut mereka kedua telinga itu
bagian dari kepala juga.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah : Dua telinga itu bagian dari kepala. Namun yang wajib hanya
sekali saja, tidak tiga kali.
Adapun Asy-syafi`iyyah mengatakan
bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian dari kepala, meskipun
hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah :
Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu` mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya
(sorban yang melingkari kepala).
5.5. Mencuci kaki hingga mata kaki.
Menurut jumhur ulama, yang
dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata kakinya itu juga.
Sebagaimana dalam masalah membahasi siku tangan.
Secara khusus Rasulullah SAW
mengatakan tentang orang yang tidak membasahi kedua mata kakinya dengan sebutan
celaka. Celakalah kedua mata kaki dari neraka.
5.6. Tartib
Yang dimaksud dengan tartib
adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan mulai dari yang awal hingga
yang akhir. Maka membasahi anggota wudhu secara acak akan menyalawi aturan
wudhu. Urutannya adaalh sebagaimana yang disebutan dalam nash Quran, yaitu
wajah, tangan, kepala dan kaki.
Namun Al-Hanafiyah dan
Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu`, melainkan hanya sunnah
muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam Al-Quran, bagi mereka
tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan. Sebab kata penghubunganya bukan tsumma
(ثمّ) yang bermakna : ‘kemudian’ atau
‘setelah itu’.
Selain
itu ada dalil dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan :
Aku tidak peduli dari mana aku mulai. (HR.
Ad-Daruquthuny)
Juga dari Ibnu Abbas :
Tidak mengapa memulai dengan dua kaki sebelum kedua
tangan. (HR. Ad-Daruquthuny)
Namun As-Syafi`i dan Al-hanabilah
bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian
dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh
praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau
berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara
sekaligus semua dibasahi tidak dianggap syah.
5.7. Al-Muwalat (Tidak Terputus)
Maksudnya adalah tidak adanya
jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu anggota wudhu` ke anggota
wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut para ulama adalah selama belum sampai
mengering air wudhu`nya itu.
Kasus ini bisa terjadi manakala
seseorang berwudhu lalu ternyata setelah selesai wudhu`nya, barulah dia
tersadar masih ada bagian yang belum sepenuhnya basah oleh air wudhu. Maka
menurut yang mewajibkan al-muwalat ini, tidak syah bila hanya membasuh bagian
yang belum sempat terbasahkan. Sebaliknya, bagi yang tidak mewajibkannya, hal
itu bisa saja terjadi.
5.8. Ad-Dalk
Yang dimaksud dengan ad-dalk
adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air dan
sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut jumhur ulama,
namun khusus Al-Malikiyah mewajibkannya.
Sebab sekedar menguyurkan air ke
atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam
Al-Quran.
6. Sunnah-sunnah Wudhu`
6.1. Mencuci kedua tangan
hingga pergelangan tangan sebelum
mencelupkan tangan ke dalam wadah air.
6.2. Membaca basmalah sebelum berwudhu`
6.3. Berkumur dan memasukkan air ke hidung
6.4. Bersiwak atau membersihkan gigi
6.5. Meresapkan air ke jenggot yang tebal dan jari
6.6. Membasuh tiga kali tiga kali
6.7. Membasahi seluruh kepala dengan air
6.8. Membasuh dua telinga
luar dan dalam dengan air yang
baru
6.9. Mendahulukan anggota yang kanan
dari yang kiri
7. Batalnya Wudhu'
Hal-hal yang bisa membatalkan
wudhu' ada 5 perkara.
7.1. Keluarnya benda lewat qubul atau dubur.
Baik berupa benda cair seperti
air kencing, mani, wadi, mazi atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat
seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainny. apun juga benda gas
seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur,
membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
7.2. Tidur
yang bukan dalam posisi tamakkun
(tetap) di atas bumi.
Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW
مَنْ
نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ -رواه أبوداود وابن ماجة.
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu
adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur
dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang
tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri, tidak termasuk yang membatalkan
wudhu' sebagaimana hadits berikut :
عَنْ
أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَكَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهsيَنَامُونَ ثُمَّ
يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ - رواه مسلم - وزاد أبو داود : حَتَّىتَخْفَق
رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
Dari Anas ra berkata bahwa para shahabat Rasulullah
SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim) - Abu Daud menambahkan :
Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
7.3. Hilang Akal
Karena Mabuk Atau Sakit
Seorang yang minum khamar dan
hilang akalnya karena mabuk, maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang
sempat pingsan tidak sadarkan diri, juga batal wudhu'nya. Demikian juga orang
yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan, dimana kesadarannya sempat
hilang beberapa waktu, wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi
wudhu'nya.
7.4. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ - رواهأحمد والترمذي
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu
(HR. Ahmad dan At-Tirmizy)[36]
Para ulama kemudian menetapkan
dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh
kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau
pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik
kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati
(mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para
ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan
wudhu.
Namun para ulama mengecualikan
bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan, dimana hal itu
tidak membatalkan wudhu'.
7.5. Menyentuh kulit lawan jenis
yang bukan mahram (mazhab
As-Syafi'iyah)
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah,
menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'.
Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka
tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka
didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْأُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْوَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْوَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُاللاَّتِي
فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِنلَّمْ
تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُأَبْنَائِكُمُ
الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِإَلاَّ مَا
قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa :
23)
a. Pendapat Yang Membatalkan
Sebagian ulama mengartikan kata
‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual).
Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`.
Ulama kalangan As-Syafi`iyah
cenderung mengartikan kata ‘menyntuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka
sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan
wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata
yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang
harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang
menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya
tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam
pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan
beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal
wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak
sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan
antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri).
Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan
wudhu`.
b. Pendapat Yang Tidak Membatalkan
Dan sebagian ulama lainnya lagi
memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam
arti pisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung
oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur
pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan
syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan
adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh
para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra
dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar
untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang
dimaksud kecuali anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR. Turmuzi Abu Daud, An-Nasai,
Ibnu Majah dan Ahmad). ÿ
Tayammum
1. Pengertian
Secara
bahasa, tayammum itu maknanya adalah (القصد) al-qashdu, yaitu bermaksud.
Sedangkan
secara syar`i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan tanah
untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Caranya dengan
menepuk-nepuk kedua tapak tangan ke atas tanah lalu diusapkan ke wajah dan
kedua tangan dengan niat untuk bersuci dari hadats.
Tayammum berfungsi
sebagai pengganti wudhu` dan mandi janabah sekaligus. Dan itu terjadi pada saat
air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya yang akan kami sebutkan.
Maka bila ada seseorang yang terkena janabah, tidak perlu bergulingan di atas
tanah, melainkan cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa
menggantikan dua hal sekaligus, yaitu hadats kecil dan hadats besar.
2. Masyru`iyah
Syariat Tayammum
dilandasi oleh dalil-dalil syar`i baik dari Al-Quran, Sunnah dan Ijma`.
2.1. Dalil Al-Quran
Allah
SWT telah berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang kebolehan bertayammum
pada kondisi tertentu bagi umat Islam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَآمَنُواْ
لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَاتَقُولُونَ
وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِنكُنتُم
مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ
أَوْلاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا
طَيِّبًافَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَفُوًّاغَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.(QS. An-Nisa : 43)
2.2. Dalil Sunnah
Selain
dari Al-Quran Al-Kariem, ada juga landasan syariah berdasarkan sunnah
Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang pensyariatan tayammum ini.
عَنْأَبيِأُمَامَةَأَنَّ رَسُولَ
الله s قَالَ : جُعِلَتْ الأَرْضُكُلُّهَا ليِ
وَلأُِمَّتِي مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْ رَجُلاً مِنْ
أُمَّتِي الصَّلاَةُ فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ وَعِندَهُطَهُوْرُهُ -رواهماأحمد
Dari Abi Umamah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Telah dijadikan tanah seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai
masjid dan pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku, maka dia
punya masjid dan media untuk bersci. (HR. Ahmad 5 :
248)
2.3. Ijma`
Selain
Al-Quran dan Sunnah, tayammum juga dikuatkan dengan landasan ijma` para ulama
muslimin yang seluruhnya bersepakat atas adanya masyru`iyah tayammum
sebagai pengganti wudhu`.
3. Tayammum Khusus Milik Umat Muhammad SAW
Salah
satu kekhususan umat Nabi Muhammad SAW dibandingkan dengan umat lainnya adalah
disyariatkannya tayammum sebagai pengganti wudhu` dalam kondisi tidak ada air
atau tidak mungkin bersentuhan dengan air.
Di
dalam agama samawi lainnya, tidak pernah Allah SWT mensyariatkan tayammum. Jadi
tayammum adalah salah satu ciri agama Islam yang unik dan tidak ditemukan
bandingannya di dalam Nasrani atau Yahudi.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ s قَالَ:
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ
مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي اَلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا
رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلاةُ فَلْيُصَلِّ –رواه البخاري ومسلم
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi SAW bersabda,”Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada
seorang nabi sebelumku : Aku ditolong dengan dimasukkan rasa takut sebulan
sebelumnya, dijadikan tanah sebagai masjid dan media bersuci, sehingga
dimanapun waktu shalat menemukan seseorang, dia bisa melakukannya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
4. Hal-hal Yang Membolehkan Tayammum
4.1. Tidak Adanya Air
Dalam
kondisi tidak ada air untuk berwudhu` atau mandi, seseorang bisa melakukan
tayammum dengan tanah. Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu
dengan cara mengusahakannya. Baik dengan cara mencarinya atau membelinya.
Dan
sebagaimana yang telah dibahas pada bab air, ada banyak jenis air yang bisa
digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air
sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini, ada banyak air kemasan
dalam botol yang dijual di pinggir jalan, semua itu membuat ketiadaan air
menjadi gugur.
Bila
sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu
namun tetap tidak berhasil, barulah tayammum dengan tanah dibolehkan.
Dalil
yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits
Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْعُمْرَانَ بْنِحُصَيْنٍقَالَ
:كُنَّا مَعَ رَسُولِ الله s فيِ سَفَرٍفَصَلَّى بِالنَّاسِ فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ :
مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَليِّ ؟ قَالَ : أَصَابَتْنِي جَناَبَةُوَلاَ مَاء ، قَالَ :
عَليَكَ باِلصَّعِيدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ - متفق عليه
Dari Imran bin Hushain ra berkata bahwa kami pernah
bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Belaiu lalu shalat bersama
orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat).
Beliau bertanya,"Apa yang menghalangimu shalat ?". Orang itu menjawab,"Aku
terkena janabah". Beliau menjawab,"Gunakanlah tanah untuk tayammum
dan itu sudah cukup". (HR. Bukhari 344 Muslim
682)
Bahkan
ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air,
maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum, meskipun dalam jangka waktu
yang lama dan terus menerus.
عَنْأَبيِ ذَرٍّقَالَ :
اِجْتَوَيْتُالمَدِيْنَةَفَأَمَرَليِ رَسُولُ الله sبِإِبِلٍ فَكُنْتُ
فِيْهَا ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ s فَقُلْْتُ : هَلَكَأَبُو ذَرٍّ، قَالَ : مَا
حَالُكَ ؟ قَالَ : كُنْتُ أَتَعَرَّضُلِلجَنَابَةَ وَلَيْسَ قُرْبيِ مَاء ،
فَقَالَ : إِنَّ الصَّعِيْدَ طَهُوْرٌ لِمَنْ لَمْ يَجِدْ المَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ - رواهأحمدوأبو
داودوالأثرموهذا لفظه
Dari Abi Dzar ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski
selama 10 tahun". (HR. Abu Daud, Tirmizi,
Nasa`i, Ahmad).
4.2. Sakit
Kondisi
yang lainnya yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai penggati wudhu`
adalah bila seseorang terkena penyakit yang membuatnya tidak boleh terkena air.
Baik sakit dalam bentuk luka atau pun jenis penyakit lainnya.
Tidak
boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau
terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi
maupun atas advis dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada
saat itu boleh baginya untuk bertayammum.
Dalilnya
adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْجَابِرٍقَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ
فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّاحْتَلَمَ ، فَسَأَلَ
أَصْحَابَهُ هَلْ تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا
نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَتَقْدِرُ عَلى المَاء ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ ،
فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ s أَخْبَرَبِذَلِكَ ، فَقَالَ : قَتَلُوهُ
قَتَلَهُمُ الله ، أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ
العَيِّ السُّؤَال، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ, وَيَعْصِبَ عَلَى
جُرْحِهِ خِرْقَةً, ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ رواهأبو داودوالدارقطني
Dari Jabir ra berkata,"Kami dalam perjalanan,
tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika
tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya,"Apakah kalian
membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab,"Kami tidak
menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan
air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika
kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah
beliau,"Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa
tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya.
Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud 336,
Ad-Daruquthuny 719).
4.3. Suhu Sangat Dingin
Dalam
kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang, maka menyentuh air untuk
berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat
yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi
hangat walaupun dengan mengeluarkan uang, dia dibolehkan untuk bertayammum.
Di beberapa tempat di
muka bumi, terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk
berwudhu`, jangankan menyentuh air, sekedar tersentuh benda-benda di sekeliling
pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama
musim dingin.
Tentu saja tidak semua
orang bisa memiliki alat pemasan air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang
mampu memilikinya. Selebihnya mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau
di wilayah yang kekurangan, akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu` di
musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya.
Dalilnya
adalah taqrir Rasulullah SAW saat peristiwa beliau melihat suatu hal dan mendiamkan,
tidak menyalahkannya.
عَنْعَمْرُو بنالعَاصأَنَّهُ
لَمَّا بُعِثَ فيِ غَزْوَةِذَاتِ السَّلاَسِلقَالَ : اِحْتَلَمْتُ فيِ لَيْلَةٍ
بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ البَرْد ، فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَن أَهْلَك
فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُبِأَصْحَابيِ صَلاَةَ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا
قَدِمْنَا عَلىَ رَسُول اللهِ s ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ ،فَقَالَ :
يَاعَمْرُوصَلَّيتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُب؟ فَقُلْتُ : ذَكَرْتُ
قَوْلَاللهُ تَعَالىَ(وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُم إِنَّ اللهُ كَانَ بِكُم
رَحِيْمًا)فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ ، فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه
وسلم وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا - رواهأحمدوأبو
داودوالدارقطني
Dari Amru bin Al-`Ash ra bahwa ketika beliau diutus
pada perang Dzatus Salasil berakta,"Aku mimpi basah pada malam yang sangat
dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan
shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW,
mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya,"Wahai Amr,
Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku
menjawab,"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu], maka aku tayammum dan shalat".
(Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad,
Al-hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
4.4. Air Tidak Terjangkau
Kondisi
ini sebenarnya bukan tidak ada air. Air ada tapi tidak bisa dijangkau. Meskipun
ada air, namun bila untuk mendapatkannya ada resiko lain yang menghalangi, maka
itupun termasuk yang membolehkan tayammum.
Misalnya
takut bila dia pergi mendapatkan air, takut barang-barangnya hilang, atau
beresiko nyawa bila mendapatkannya. Seperti air di dalam jurang yang dalam yang
untuk mendapatkannya harus turun tebing yang terjal dan beresiko pada nyawanya.
Atau
juga bila ada musuh yang menghalangi antara dirinya dengan air, baik musuh itu
dalam bentuk manusia atau pun hewan buas. Atau bila air ada di dalam sumur
namun dia tidak punya alat untuk menaikkan air. Atau bila seseorang menjadi
tawanan yang tidak diberi air kecuali hanya untuk minum.
4.5. Air Tidak Cukup
Kondisi
ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak
mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan
ketimbang untuk wudhu`. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang
sangat.
Bahkan
para ulama mengatakan meski untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan,
maka harus didahulukan memberi minum anjing dan tidak perlu berwudhu` dengan
air. Sebagai gantinya, bisa melakukan tayammum dengan tanah.
4.6. Habisnya Waktu
Dalam
kondisi ini, air ada dalam jumlah yang cukup dan bisa terjangkau. Namun
masalahnya adalah waktu shalat sudah hampir habis. Bila diusahakan untuk
mendaptkan air, diperkirakan akan kehilangan waktu shalat. Maka saat itu demi
mengejar waktu shalat, bolehlah bertayammum dengan tanah.
5. Tanah Yang Bisa Digunakan Untuk Tayammum
Dibloehkan
betayammum dengan menggunakan tanah yang suci dari najis. Dan semua yang
sejenis dengan tanah seperti batu, pasir atau kerikil. Sebab di dalam Al-Quran
disebutkan dengan istilah sha`idan thayyiba (صعيدا طيبا) yang artinya disepakati ulama sebagai
apapun yang menjadi permukaan bumi, baik tanah atau sejenisnya.
6. Cara Bertayammum
Cara
tayammum amat sederhana. Cukup dengan niat, lalu menepukkan kedua tapak tangan
ke tanah yang suci dari najis. Lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan sampai
batas pergelangan. Selesailah rangkaian tayammum. Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Ammar bertanya tentang itu.
عَنْعَمَّارقَالَ : أَجْنَبْتُ فَلَم أَصُب
المَاء ، فَتَمَعَّكْتُ فيِ الصَّعِيدِ وَصَليَّتُ ،فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلَّنِبي s فَقَالَ : إِنَّمَا يَكْفِيْكَ هَكَذَا ،
وَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلىَّاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيهِ - متفق عليه . وفي لفظ : إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيكَ أَنْ تَضْرِبَ بِكَفَّيكَ فيِ التُّرَابِ ، ثُمَّ تَنْفُخُفِيْهِمَا ،
ثُمَّ تَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَكَ وَكَفَّيْكَ إِلىَ الرِصْغَيْنِ رواهالدارقطني
Dari Ammar ra berkata,"Aku mendapat janabah dan
tidak menemukan air. Maka aku bergulingan di tanah dan shalat. Aku ceritakan
hal itu kepada Nabi SAW dan beliau bersabda,"Cukup bagimu seperti ini :
lalu beliau menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya lalu meniupnya lalu
diusapkan ke wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
lafadz lainnya disebutkan :
Cukup bagimu untuk menepuk tanah lalu kamu tiup dan
usapkan keduanya ke wajah dan kedua tapak tanganmu hingga pergelangan. (HR.
Ad-Daruquthuny)
7. Batalnya Tayammum
7.1. Segala yang membatalkan wudhu` sudah tentu membatalkan tayammum. Sebab tayammum adalah pengganti dari wudhu`.
7.2. Bila ditemukan air, maka tayammum secara otomatis menjadi gugur.
7.3 Bila halangan untuk mendapatkan air sudah tidak ada, maka batallah tayammum.
Bila seseorang
bertayammum lalu shalat dan telah selesai dari shalatnya, tiba-tiba dia
mendapatkan air dan waktu shalat masih ada. Apa yang harus dilakukannya ?
Para
ulama mengatakan bahwa tayammum dan shalatnya itu sudah syah dan tidak perlu
untuk mengulangi shalat yang telah dilaksanakan. Sebab tayammumnya pada saat
itu memang benar, lantaran memang saat itu dia tidak menemukan air. Sehingga
bertayammumnya sah. Dan shalatnya pun sah karena dengan bersuci tayammum.
Apapun bahwa setelah itu dia menemukan air, kewajibannya untuk shalat sudah
gugur.
Namun
bila dia tetap ingin mengulangi shalatnya, dibenarkan juga. Sebab tidak ada
larangan untuk melakukannya. Dan kedua kasus itu pernah terjadi bersamaan pada
masa Rasulullah SAW.
عَنْعَطَاء بنِ يَسَارعَنْأَبيِ
سَعِيْدٍ الخُدْرِيقَالَخَرَجَ رَجُلاَنِ فيِ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ
وَلَيْسَمَعَهُمَا مَاءُ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ، ثُمَّ
وَجَدَا المَاءَ فيِ الوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الوُضُوءَوَالصَّلاَةَ ،
وَلَم يُعِد الآخَر ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ s فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ،فَقَالَ لِلَّذِي
لَمْ يُعِد : أَصَبْتَ السُّنَّة وَأَجْزَأْتَكَ صَلاَتَكَ ؛ وَقَالَ لِلَّذِي
تَوَضَّأَ وَأَعَادَ : لَكَ الأَجْرمَرَّتَينِ
Dari Atha' bin Yasar dari Abi Said Al-Khudhri ra
berkata bahwa ada dua orang bepergian dan mendapatkan waktu shalat tapi tidak
mendapatkan air. Maka keduanya bertayammum dengan tanah yang suci dan shalat.
Selesai shalat keduanya menemukan air. Maka seorang diantaranya berwudhu dan
mengulangi shalat, sedangkan yang satunya tidak. Kemudian keduanya datang kepada
Rasulullah SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka Rasulullah SAW berkata
kepada yang tidak mengulangi shalat,"Kamu sudah sesuai dengan sunnah dan
shalatmu telah memberimu pahala". Dan kepada yang mengulangi
shalat,"Untukmu dua pahala". (HR. Abu Daud 338 dan An-Nasa`i 431) ÿ
Pertemuan Kedelapan
Mandi Janabah
1. Pengertian
Mandi
dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl (الغسل). Kata ini memiliki makna yaitu menuangkan
air ke seluruh tubuh.
Sedangkan
secara istilah, para ulama menyebutkan definisinya yaitu :
استعمال
ماء طهور في جميع البدن على وجه مخصوص بشروط وأركان
Memakai
air yang suci pada seluruh badan dengan tata cara tertentu dengan syarat-syarat
dan rukun-rukunnya.[37]
Adapun
kata Janabah dalam bahasa Arab bermakna jauh (البُعْدُ) dan lawan dari dekat (ضِدُّ
القرَابَة).
Sedangkan
secara istilah fiqih, kata janabah ini menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berarti :
تطلق
الجنابة في الشرع على من أنزل المني وعلى من جامع وسمي جنبا لأنه يجتنب الصلاة
والمسجد والقراءة ويتباعد عنها
Janabah secara syar'i dikaitkan dengan seseorang
yang keluar mani atau melakukan hubungan suami istri, disebut bahwa seseorang
itu junub karena dia menjauhi shalat, masjid dan membaca Al-Quran serta
dijauhkan atas hal-hal tersebut.[38]
Mandi
Janabah sering juga disebut dengan istilah 'mandi wajib'. Mandi ini merupakan
tatacara ritual yang bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan
hadats besar.
2. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi Janabah
Para
ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi
janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga
lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.
2.1. Keluar Mani
Keluarnya
air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah, baik dengan cara sengaja
(masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنهقَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ s الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ ,
وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda,"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air
(keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun
ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha'.
Mazhab
Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu
karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu, baik keluar dengan sengaja atau
tidak sengaja. Yang penting, ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya
mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.
Sedangkan
mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani, baik karena syahwat atau pun
karena sakit, semuanya tetap mewajibkan mandi janabah. [39]
Sedangkan
air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi
dan mazi :
§ Dari
aromanya, air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan
seperti telur bila telah mengering.
§ Keluarnya
dengan cara memancar, sebagaimana firman Allah SWT : من
ماء دافق
§ Rasa
lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.
Mani Wanita
عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ:
يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى
اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ
الْمَاءَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu
Sulaim istri Abu Thalhah bertanya,"Ya Rasulullah, sungguh Allah tidak mau
dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW
menjawab,"Ya, bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani, bukan hanya laki-laki.
2.2. Bertemunya Dua Kemaluan
Yang
dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan
wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima').
Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj
wanita, atau faraj apapun baik faraj hewan.
Termasuk
juga bila dimasukkan ke dalam dubur, baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki,
baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam
keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi, di luar larangan perilaku itu.
Hal
yang sama berlaku juga untuk wanita, dimana bila farajnya dimasuki oleh
kemaluan laki-laki, baik dewasa atau anak kecik, baik kemaluan manusia maupun
kemaluan hewan, baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati, termasuk juga
bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi, di luar masalah
larangan perilaku itu.
Semua
yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi, meskipun tidak
sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله ِ s قَالَ : إِذَا الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ
مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ
اللهِفَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan
lainnya, maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama
Rasulullah SAW dan kami mandi.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَرَسُولُ اللَّهِ s إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا
الأَرْبَعِثُمَّ جَهَدهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ -
وَزَادَ مُسْلِمٌ : " وَإِنْ
لَمْيُنْزِلْ "
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian
bersungguh-sungguh (menyetubuhi), maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun
'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun
tidak keluar mani"
2.3. Meninggal
Seseorang
yang meninggal, maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan
jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang
ihram tertimpa kematian :
اغْسِلُوهُ
بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Rasulullah SAW bersabda,"Mandikanlah dengan air
dan daun bidara`. (HR. Bukhari dan Muslim)
2.4. Haidh
Haidh
atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita
dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa
tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda
Rasulullah SAW :
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِالْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ
وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُأَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّالْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:
"Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
إِذَا
أَقْبَلَت ِالحَيْضُ فَدَعِيالصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرَهَا فَاغْسِلِي
عَنْكِ الدَّمَ وَصَليِّ -رواه التخاري ومسلم
Nabi SAW bersabda,`Apabila haidh tiba, tingalkan
shalat, apabila telah selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)
2.5. Nifas
Nifas
adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita
setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi
yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya
darah sesudah persalinan atau melahirkan, maka wajib atas wanita itu untuk
mandi janabah.
Hukum
nifas dalam banyak hal, lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang
yang nifas tidak boleh shalat, puasa, thawaf di baitullah, masuk masjid,
membaca Al-Quran, menyentuhnya, bersetubuh dan lain sebagainya.
2.6. Melahirkan
Seorang
wanita yang melahirkan anak, meski anak itu dalam keadaan mati, maka wajib
atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak
ada darah yang keluar. Artinya, meski seorang wanita tidak mengalami nifas,
namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah, lantaran persalinan yang
dialaminya.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa 'illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan
adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga, meski
sudah berubah wujud menjadi manusia.
Dengan
dasar itu, maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun, tetap
diwajibkan mandi, lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
3. Fardhu Mandi Janabah
Untuk
melakukan mandi janabah, maka ada dua hal yang harus dikerjakan karena
merupakan rukun/pokok:
3.1. Niat dan menghilangkan najis dari badan bila ada.
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات
Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya. (HR Bukhari dan Muslim)
3.2. Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan
Menghilangkan
najis dari badan sesungguhnya merupakan syarat sah mandi janabah. Dengan
demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk
memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya.
Caranya
bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih
lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya
dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Untuk
itu sangat dianjurkan sebelum mandi janabah dilakukan, mandi terlebih dahulu
seperti biasa, dengan sabun dan lain-lainnya, agar dipastikan semua najis dan
kotoran telah hilang. setelah itu barulah mandi janabah hanya dengan air saja.
3.3. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan
Seluruh
badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik
akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus,
seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi
masuknya air.
Rambut
yang dicat dengan menggunakan bahan kimiawi yang sifatnya menutup atau melapisi
rambut, dianggap belum memenuhi syarat. Sehingga cat itu harus dihilangkan
terlebih dahulu.
Demikian
juga bila di kulit masih tersisa lem yang bersifat melapisi kulit, harus
dilepas sebelum mandi agar kulit tidak terhalang dari terkena air.
Sedangkan
pacar kuku (hinna') dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air
ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat
tato.
Termasuk
yang dianggap tidak menghalangi air terkena kulit adalah tinta pemilu, dengan
syarat tinta itu tidak menutup atau melapisi kulit, tinta itu hanya sekedar
mewarnai saja.
4. Tata Cara Mandi Janabah
Rasulullah
SAW telah memberikan contoh hidup bagaimana sebuah ritual mandi janabah pernah
beliau lakukan, lewat laporan dari istri beliau, ibunda mukminin, Aisyah radhiyallahu
ta'ala anha.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ
يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ فَيُدْخِلُ
أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاثَ حَفَنَاتٍ
ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW
memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari
tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku
seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan
jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit
kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau
membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)
Dari ’Aisyah radliyallahu anha dia berkata, ”Jika
Rasulullah SAW mandi karena janabah, maka beliau mencuci kedua tangan, kemudian
wudlu’ sebagaimana wudlu beliau untuk sholat, kemudian beliau menyela-nyela
rambutnya dengan kedua tangan beliau, hingga ketika beliau menduga air sudah
sampai ke akar-akar rambut, beliau mengguyurnya dengan air tiga kali, kemudian
membasuh seluruh tubuhnya”. ’Aisyah berkata, ”Aku pernah mandi bersama
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dari satu bejana, kami mencibuk dari
bejana itu semuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
kedua hadits di atas, kita bisa rinci sebagai berikut :
4.1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
4.2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
4.3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4.4. Najis-najis dibersihkan
4.5. Berwudhu sebagaimana untuk shalat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
4.6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
4.7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
4.8. Membersihkan seluruh anggota badan
4.9. Mencuci kaki
*
* *
5. Sunnah-sunnah Yang Dianjurkan Dalam Mandi Janabah:
5.1. Membaca basmalah
5.2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
5.3. Berwudhu` sebelum mandi
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW
berwudku seperti wudhu` orang shalat (HR Bukhari
dan Muslim)
5.4. Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh.
Hal ini untuk
membersihkan seluruh anggota badan.
5.5. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.
*
* *
6. Mandi Janabah Yang Hukumnya Sunnah
Selain
untuk `mengangkat` hadats besar, maka mandi janabah ini juga bersifat sunnah
-bukan kewajiban-untuk dikerjakan (meski tidak berhadats besar), terutama pada
keadaan berikut:
6.1. Shalat Jumat
Mandi
janabah disunnahkan untuk dikerjakan jika seseorang akan melakukan ibadah
Shalat Jumat. Hukumnya sunnah dan bukan wajib. Hal itu berdasarkan sabda
Rasulullah SAW :
مَنْ
تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالغُسْلُ
أَفْضَل - رواه الجماعة
Orang yang berwudhu'
pada hari Jumat maka hal itu baik, namun bila dia mandi, maka mandi lebih utama. (HR. Jamaah)
عَنْ
عائِشَةَ ض قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ص يَغْتَسِلُ مِنْ أرْبَعَةٍ : مِنَ
الجَنَابَةِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ وَمِنَ الحِجَامَةِ وَمِنَ غَسْلِ
المَيِّتِ.-رواه أحمد و أبو داود والبيهقي وصححه ابن خزيمة
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Nabi SAW
mandi pada empat kesempatan : karena
janabah, hari Jumat, hijamah dan memandikan mayit. (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaki
dan Ibnu Khuzaemah menshahihkannya)
Disunnahkannya
mandi di hari Jumat berlangsung sejak terbitnya matahari hingga zawal (masuk
waktu shalat Jumat). Sedangkan mandi janabah setelah usai shalat Jumat, tidak
ada kesunnahannya secara khusus.
Sunnahnya
mandi janabah di hari Jumat hanya berlaku bila tidak mengalami hal-hal yang
mewajibkan mandi janabah. Sedangkan mereka yang memang mengalami hal-hal yang
mewajibkan mandi, tentu hukumnya wajib. Misalnya orang yang kelur mani karena
mimpi di hari Jumat, maka wajiblah atasnya mandi janabah sebagaimana sabda
Rasulullah SAW berikut ini :
غُسْلُ
الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُحْتَلِمٍ - رواه السبعة
Mandi Jumat hukumnya
wajib bagi orang yang mimpi (keluar mani) (HR. Sab'ah)
6.2. Shalat hari Raya Idul Fithr dan Idul Adha
Dalam
melaksanakan Shalat Idul Fithr dan Idul Adha juga disunnahkan untuk terlebih
dahulu mandi janabah. Dasarnya sunnah berikut ini :
أنَّ
النَّبِيَّ ص كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَة وَيَوْمَ
الفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Bahwa Nabi SAW mandi
janabah di hari Jumat, hari Arafah, hari Fithr dan hari Nahr (Idul Adha). (HR. Abdullah bin
Ahmad)[40]
6.3. Shalat Gerhana Matahari Bulan
6.4. Shalat Istisqa`
6.5. Sesudah memandikan mayat
6.6. Masuk Islam dari kekafiran
6.7. Sembuh dari gila
6.8. Ketika akan melakukan ihram
6.9. Masuk ke kota Mekkah
6. 10. Ketika wukuf di Arafah
6.11. Ketika akan thawaf
Menurut
Imam Syafi`i itu adalah salah satu sunnah dalam berthawaf
7. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Junub :
7.1. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.
Hal
tersebut sebagaimana ditegaskan oleh hadits dari Aisyah, ia berkata:
Rasulullah SAW menyenangi untuk mendahulukan tangan
kanannya dalam segala urusannya; memakai sandal, menyisir dan bersuci (HR
Bukhari/5854 dan Muslim/268)
7.2. Tidak perlu berwudhu lagi setelah mandi.
Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits dari Aisyah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW mandi kemudian shalat dua rakaat dan
sholat shubuh, dan saya tidak melihat beliau berwudhu setelah mandi (HR Abu
Daud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
8. Hal-Hal Yang Haram Dikerjakan
Orang
yang dalam keadaan janabah diharamkan melakukan beberapa pekerjaan, lantaran
pekerjaan itu mensyaratkan kesucian dari hadats besar.
Di
antara beberapa pekerjaan itu adalah :
8.1. Shalat
Shalat
adalah ibadah yang mensyaratkan kesucian dari hadats kecil maupun hadats besar.
Seorang yang dalam keadaan janabah atau berhadats besar, haram hukumnya
melakukan ibadah shalat, baik shalat yang hukumnya fardhu a'in seperti shalat
lima waktu, atau fadhu kidfayah seperti shalat jenazah, atau pun shalat yang
hukumnya sunnah seperti dhuha, witir, tahajjud.
Dasar
keharaman shalat dalam keadaan hadats besar adalah hadits berikut ini :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بن عُمَرَ ض قَالَ:قَالَ النَّبِيُّ ص : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ
بِغَيْرِ طَهُورٍ - رواه مسلم
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak diterima
shalat yang tidak dengan kesucian". (HR. Muslim)
8.2. Sujud Tilawah
Sujud
tilawah adalah sujud yang disunnahkan pada saat kita membaca ayat-ayat tilawah,
baik dilakukan di dalam shalat maupun di luar shalat. Syarat dari sujud tilawah
juga suci dari hadats kecil dan besar.
Sehingga
orang yang dalam keadaan janabah, haram hukumnya melakukan sujud tilawah.
8.3. Tawaf
Tawaf
di Baitullah Al-Haram senilai dengan shalat, sehingga kalau shalat itu
terlarang bagi orang yang janabah, otomatis demikian juga hukumnya buat tawaf.
Dasar
persamaan nilai shalat dengan tawaf adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عَبَّاسٍ ض أنَّ النَّبِيَّ ص قال :
الطَّوافُ بالبَيْتِ صَلاَةٌ إلاَّ أنَّ اللهَ أحَلَّ فِيهِ الكَلاَم - رواه
الترمذي والحاكم وصححه الذهبي
Dari Abdullah bin Abbas
radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tawaf di Baitullah adalah
shalat, kecuali Allah membolehkan di dalamnya berbicara." (HR.
Tirmizy, Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menshahihkannya)
Dengan hadits ini, mayoritas (jumhur) ulama sepakat untuk
mengharamkan tawaf di seputar ka'bah bagi orang yang janabah sampai dia suci
dari hadatsnya.
Kecuali ada satu pendapat menyendiri dari madzhab
Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa suci dari hadats besar bukan syarat sah
tawaf, melainkan hanya wajib. Sehingga dalam pandangan yang menyendiri ini,
seorang yang tawaf dalam keadaan janabah tetap dibenarkan, namun dia wajib
membayar dam, berupa menyembelih seekor kambing. [41]
Pendapat ini didasarkan pada fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu
anhu yang menyebutkan bahwa menyembelih kambing wajib bagi seorang yang
melakukan ibadah haji dalam dua masalah : [1] bila tawaf dalam keadaan janabah,
[2] bila melakukan hubungan seksual setelah wuquf di Arafah.
8.4. Memegang atau Menyentuh Mushaf
Jumhur
Ulama sepakat
bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh
mushaf Al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut ini :
لاَ
يَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُون
`Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. Al-Waqi’ah ayat 79)
Ditambah dan dikuatkan dengan
hadits Rasulullah SAW berikut ini :
وَعَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ
اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ لِعَمْرِو
بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ - رَوَاهُ مَالِكٌ
مُرْسَلاً وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah bin Abi Bakar
bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm
tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dia dalam keadaan
suci”.(HR. Malik).[42]
8.5. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Empat
madzhab yang ada, yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah, semuanya sepakat bulat mengharamkan orang yang dalam keadaan
janabah untuk melafadzkan ayat-ayat Al-Quran.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ ض عَنِ النَّبِيِّ ص أَنَّهُ قَالَ : لاَ تَقْرَأ
الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبَ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ - رواه الترمذي
Dari Abdillah Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa
Rasululah SAW bersabda,"Wanita yang haidh atau orang yang janabah tidak
boleh membaca sepotong ayat Quran (HR. Tirmizy)[43]
عَنْ
عَلِيِّ بنِ أبيِ طَالبٍ ض لما روي أن النبي ص
كَانَ لاَ يَحْجِزُهُ شَيْءٌ عَنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ إلاَّ الجَنَابَةِ -
رواه أحمد
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata
bahwa Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam
keadaan junub. (HR. Ahmad)[44]
Larangan
ini dengan pengecualian kecuali bila
lafadz Al-Quran itu hanya disuarakan di dalam hati. Juga bila lafadz itu pada
hakikatnya hanyalah doa atau zikir yang
lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung (iqtibas).
Namun
ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan
tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya
terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat
Malik.[45]
Diriwayatkan
bawa Ibnu Abbas radhiyalahu anhu dan Said ibnul Musayyib termasuk pihak
yang membolehkan wanita haidh melafadzkan ayat-ayat bahkan keseluruhan
Al-Quran. [46]
8.6. Masuk ke Masjid
Seorang
yang dalam keadaan janabah, oleh Al-Quran Al-Kariem secara tegas dilarang
memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.
يَا
أَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى
حَتَّىَتَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّىَتَغْتَسِلُواْ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.(QS. An-Nisa' : 43)
Selain Al-Quran, Sunnah Nabawiyah
juga mengharamkan hal itu :
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhari, Abu Daud
dan Ibnu Khuzaemah.
Apabila haidh tiba, tingalkan shalat, apabila telah
selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah.
(HR Bukhari dan Muslim)ÿ
2.Mandi
Menurut lughat, mandi berarti
mengalirkan. Sedangkan didalam istilah syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh
disertai dengan niat.
a.Rukun mandi
1.Niat
2.Meratakan air keseluruh tubuh, meliputi rambut dan permukaan kulit
a.Rukun mandi
1.Niat
2.Meratakan air keseluruh tubuh, meliputi rambut dan permukaan kulit
Adapun
hal-hal yang mewajibkan mandi yaitu :
a.Bersetubuh
b.Keluar mani
c.Mati, kecuali mati syahid
d.Haid
e.Nifas
f.Wiladah
a.Bersetubuh
b.Keluar mani
c.Mati, kecuali mati syahid
d.Haid
e.Nifas
f.Wiladah
3.Tayamum
Menurut
lughat, tayamum berarti menyengaja, sedangkan dalam istilah syara’ ialah
menyampaikan tabah ke wajah dan kedua tangan dengan beberapa syarat dan
ketentuan.
Dasar hukum tayamum ialah :
Dasar hukum tayamum ialah :
Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musyafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci). (an-Nisa’/4:43).
a.Syarat tayamum
Tayamum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sbb :
1. Ada udzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Udzur menggunakan air itu terjadi oleh sebab musafir, sakit atau hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsung bertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat. Tayamum untuk shalat yang berwaktu, baik fardlu maupun sunnah, hanya dibenarkan setelah masuk waktunya. Alasannya, tayamum adalah thaharah darurat, dan tidak ada keadaan darurat sebelum masuknya waktu shalat.
3. Mencari air setelah masuk waktu
4. Tidak dapat menggunakan air karena udzur syar’i
5. Tanah yang murni dan suci
Tayamum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sbb :
1. Ada udzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Udzur menggunakan air itu terjadi oleh sebab musafir, sakit atau hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsung bertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat. Tayamum untuk shalat yang berwaktu, baik fardlu maupun sunnah, hanya dibenarkan setelah masuk waktunya. Alasannya, tayamum adalah thaharah darurat, dan tidak ada keadaan darurat sebelum masuknya waktu shalat.
3. Mencari air setelah masuk waktu
4. Tidak dapat menggunakan air karena udzur syar’i
5. Tanah yang murni dan suci
b.Rukun tayamum
Tayamum
terdiri atas 4 rukun, yaitu :
1.Niat istibahah (membolehkan) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dsb.
2.Mengusap wajah
3.Mengusap kedua tangan hingga ke siku
4.Tertib
Adapun hal-hal yang membatalkan tayamum yaitu :
a.Semua hal yang membatalkan wudlu
b.Melihat air sebelum mulai melakukan shalat
c.Murtad
1.Niat istibahah (membolehkan) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dsb.
2.Mengusap wajah
3.Mengusap kedua tangan hingga ke siku
4.Tertib
Adapun hal-hal yang membatalkan tayamum yaitu :
a.Semua hal yang membatalkan wudlu
b.Melihat air sebelum mulai melakukan shalat
c.Murtad
NAJIS
Menurut lughat, najis berarti semua yang dipandang kotor, sedangkan dalam istilah syara’ ialah setiap kotoran yang mencegah sahnya shalat, dalam keadaan tidak ada rukhsah.
Macam-macam najis :
1.Najis mugholadloh
Menurut lughat, najis berarti semua yang dipandang kotor, sedangkan dalam istilah syara’ ialah setiap kotoran yang mencegah sahnya shalat, dalam keadaan tidak ada rukhsah.
Macam-macam najis :
1.Najis mugholadloh
Cara
menghilangkan najis :
Kulit binatang yang najis sejak masa hidupnya, seperti anjing dan babi, tidak dapat di sucikan sama sekali, akan tetapi, kulit binatang yang menjadi najis karena kematiannnya dapat di sucikan dengan dibag.
Dibag ialah setiap bahan yang dapat membuat kulit menjadi baik, dan tidak membusuk. Kulit yang sudah bersih setelah di samak atau dibag boleh digunakan. Karena kulit itu telah suci maka sah apabila di jual belikan. Akan tetapi, tetap tidak boleh dimakan bila ia berasal dari binatang yang tidak halal.
Kulit binatang yang najis sejak masa hidupnya, seperti anjing dan babi, tidak dapat di sucikan sama sekali, akan tetapi, kulit binatang yang menjadi najis karena kematiannnya dapat di sucikan dengan dibag.
Dibag ialah setiap bahan yang dapat membuat kulit menjadi baik, dan tidak membusuk. Kulit yang sudah bersih setelah di samak atau dibag boleh digunakan. Karena kulit itu telah suci maka sah apabila di jual belikan. Akan tetapi, tetap tidak boleh dimakan bila ia berasal dari binatang yang tidak halal.
Ada
3 macam cara membersihkan najis, yaitu :
1. Cara membersihkan benda yang bernajis karena jilatan anjing ialah membasuhnya dengan air sebanyak 7 kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Ketentuan ini berlaku pula bagi setiap yang terkena najis anjing, walaupun bukan melalui jilatan.
Hadis Rasulullah saw :
اِذا وَلغَ الكَلبُ في اِناَ ءِ اَحَدِ كُم فَليُرِقْهِ ثمّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مرّا ت
Apabila anjing menjilat bejana seseorang kamu maka hendaklah ia menumpahkan (isi)-nya kemudian membasuhnya 7 kali. (HR.Muslim)
1. Cara membersihkan benda yang bernajis karena jilatan anjing ialah membasuhnya dengan air sebanyak 7 kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Ketentuan ini berlaku pula bagi setiap yang terkena najis anjing, walaupun bukan melalui jilatan.
Hadis Rasulullah saw :
اِذا وَلغَ الكَلبُ في اِناَ ءِ اَحَدِ كُم فَليُرِقْهِ ثمّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مرّا ت
Apabila anjing menjilat bejana seseorang kamu maka hendaklah ia menumpahkan (isi)-nya kemudian membasuhnya 7 kali. (HR.Muslim)
2.
Khusus untuk membersihkan yang terkena kencing anak laki-laki yang belum makan
cukup dipercik dengan air
Hadis Rasulullah saw :
يُغْسَلُ مِن بَوْلِ الجَارِيَۃِ وَيَرُشُّ مِنْ بَولِ الغُلاَمِ
Kencing anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki dipercik. (HR.Tirmidzi)
Hadis Rasulullah saw :
يُغْسَلُ مِن بَوْلِ الجَارِيَۃِ وَيَرُشُّ مِنْ بَولِ الغُلاَمِ
Kencing anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki dipercik. (HR.Tirmidzi)
3.
Cara membersihkan najis lainnya, dibedakan berdasarkan keadaannya, najis ‘ainiy
(yang ada dzat dan sifat-sifatnya) atau hukmiy (yang dzat dan
sifat-sifatnya tidak ada lagi, seperti kencing yang telah kering).
a. Najis ‘ainiy harus dibasuh dengan air, sehingga hilang rasa, bau serta warnanya. Basuhan yang wajib hanya sekali, asalkan dapat menghilangkan ketiga sifat tersebut. Namun, warna atau bau najis yang sulit dilangkan dapat diabaikan dan basuhan dianggap bersih, walaupun salah satu dari warna atau bau najis masih tersisa. Akan tetapi, jika kedua-duanya (warna dan bau) masih ada basuhan belum dapat dihukumkan bersih, sebab itu menunjukkan bahwa dzat najis itu belum hilang.
Dalam hal ini, walaupun basuhan yang wajib hanya sekali, tetapi lebih baik dengan membasuhnya 3 kali, berdasarkan anjuran Rasulullah saw. agar orang yang baru bangun dari tidur membasuh tangan 3 kali sebelum memasukkannya kedalam air.
b. Najis hukmiy dapat dibersihkan dengan sekali mengalirkan air padanya.
a. Najis ‘ainiy harus dibasuh dengan air, sehingga hilang rasa, bau serta warnanya. Basuhan yang wajib hanya sekali, asalkan dapat menghilangkan ketiga sifat tersebut. Namun, warna atau bau najis yang sulit dilangkan dapat diabaikan dan basuhan dianggap bersih, walaupun salah satu dari warna atau bau najis masih tersisa. Akan tetapi, jika kedua-duanya (warna dan bau) masih ada basuhan belum dapat dihukumkan bersih, sebab itu menunjukkan bahwa dzat najis itu belum hilang.
Dalam hal ini, walaupun basuhan yang wajib hanya sekali, tetapi lebih baik dengan membasuhnya 3 kali, berdasarkan anjuran Rasulullah saw. agar orang yang baru bangun dari tidur membasuh tangan 3 kali sebelum memasukkannya kedalam air.
b. Najis hukmiy dapat dibersihkan dengan sekali mengalirkan air padanya.
An-Najasah
1. Pengertian
Secara
bahasa, an-najasah bermakna kotoran (القذارة). Disebut (تَنَجَّسَ الشَّيْء) maknanya sesuatu menjadi kotor.
Asy-Syafi'iyah
mendefinisikan an-najasah dengan makna : (مستقذرة يمنع الصلاة حيث لا مرخص), kotoran yang menghalangi shalat.[47]
Sedangkan
Al-Malikiyah mendefinisikan an-najasah sebagai : (صفة حكمية توجب لموصفها
منع استباحة الصلاة به أو فيه), sesuatu yang bersifat hukum yang mewajibkan dengan sifat itu
penghalangan atas shalat dengan sifat itu atau di dalam sifat itu. [48]
An-Najasah
dalam bahasa Indonesia sering dimaknai dengan najis. Meski pun secara bahasa
Arab tidak identik maknanya. Najis sendiri dalam bahasa Arab ada dua
penyebutannya.
·
Pertama
: Najas (نَجَس) maknanya adalah benda
yang hukumnya najis.
·
Kedua
: Najis (نَجِس) maknanya adalah sifat najisnya.
An-Najasah
(najis) itu lawan dari thaharah yang maknanya kesucian.
2. Pembagian Najasah
Jenis-jenis
najis oleh mazhab Asy-Syafi'i dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan dalam
mensucikan atau menghilangkannya.
Ada
yang sangat mudah untuk menghilangkan, bahkan meski secara fisik sebenarnya
belum hilang tapi secara hukum sudah dianggap suci, cukup dengan melakukan
ritual tertentu. Dan sebaliknya, ada yang sangat berat, bahkan meski secara
fisik sebenarnya najis itu sudah hilang, tetapi masih tetap dianggap najis bila
belum dilakukan ritual tertentu. Dan yang ketiga, najis yang berada di
tengah-tengah.
2.1. Najis Ringan
Najis
ringan sering juga diistilahkan dengan mukhaffafah (مخففة). Disebut ringan, karena cara
mensucikannya sangat ringan, yaitu tidak perlu najis itu sampai hilang. Cukup
dilakukan ritual sederhana sekali, yaitu dengan memercikkannya dengan air, dan
tiba-tiba benda najis itu berubah menjadi suci.
Satu-satunya
najis ini adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa pun kecuali
air susu ibu. Bila bayi itu perempuan, maka air kencingnya tidak termasuk ke
dalam najis ringan, tetapi tetap dianggap najis seperti umumnya. Demikian juga
bila bayi laki-laki itu sudah pernah mengkonsumsi makanan yang selain susu ibu,
seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air kencingnya sudah tidak lagi bisa
dikatakan najis ringan.
Semua
ini tidak ada alasan ilmiyahnya, karena semata-mata ketentuan ritual dari Allah
SWT. Allah SWT sebagai Tuhan, maunya disembah dengan cara itu.
Dasarnya
adalah hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي اَلسَّمْحِ t قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ r يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ
وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلامِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ,
وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari As-Sam'i radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi
SAW bersabda,"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air
kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja. (HR. Abu Daud, An-Nasai dan
Al-Hakim)
2.2. Najis Berat
Najis
berat sering diistilahkan sebagai najis mughalladzhah (مغلظة). Disebut najis yang berat karena tidak
bisa suci begitu saja dengan mencuci dan menghilangkannya secara fisik, tetapi
harus dilakukan praktek ritual tertentu.
Ritualnya
adalah mencuci dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Pencucian 7 kali ini semata-mata hanya upacara ritual. Demikian juga penggunaan
tanah, sama sekali tidak dikaitkan dengan manfaatnya. Penggunaan tanah itu
tidak diniatkan misalnya untuk membunuh bakteri, virus atau racun tertentu yang
terkandung pada najis itu. Tetapi semata-mata hanya ritual dimana Allah SWT ingin
disembah dengan cara itu.
Maka
penggunaan tanah tidak bisa diganti dengan sabun, deterjen, pemutih, pewangi
atau bubuk-bubuk lainnya yang didesain mengandung zat ini dan itu.
Dasar
dari semua ini adalah hadits Rasulullah SAW :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ
فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ -
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
sucinya wadah air kalian yang diminum anjing adalah
dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan air. (HR. Muslim)
Dalam
mazhab Asy-Syafi'i, najis berat hanya dua saja, yaitu anjing dan babi.
2.3. Najis Pertengahan
Najis
yang pertengahan sering disebut dengan mutawassithah (متوسطة). Disebut pertengahan lantaran posisinya yang ditengah-tengah antara najis
ringan dan najis berat.
Untuk
mensucikan najis ini cukup dihilangkan secara fisik 'ain najisnya, hingga 3
indikatornya sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator itu adalah : warna (لون), rasa (طعم) dan aroma (ريح).
Semua
najis yang tidak termasuk ke dalam najis yang berat atau ringan, berarti secara
otomatis termasuk ke dalam najis pertengahan ini.
3. Kenajisan Tubuh Manusia
Tubuh
manusia pada dasarnya adalah benda yang suci, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلَقَدْكَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِوَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍمِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra' : 70)
Bahkan
termasuk tubuh orang kafir sekalipun, karena ayat yang menyatakan bahwa orang
kafir (musyrik) itu najis sesungguhnya tidak terkait dengan najis secara hakiki
atau 'ain, melainkan secara hukmi.
إِنَّمَا المُشْرِكِيْنَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS.
At-Taubah : 28)
Secara
hukum thaharah, orang kafir tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena
mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa
yang dimaksud najis adalah aqidahnya.[49]
Dasar
bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW
menerima utusan dari Tsaqif yang nota bene adalah orang kafir, di dalam masjid.
عَنْ
عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ ض : أَنْزَلَ النَّبِيُّ ص وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ
المَسْجِدِ - رواه أبو داود
Dari Utsman bin Abil Ash bahwa Rasulullah SAW
menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
Dengan
pandangan para fuqaha ini, maka apa yang dilakukan oleh sebagian aliran sesat
di Indonesia yang menganggap saudara-saudara muslim sebagai orang kafir, telah
menyalahi dua hal sekaligus :
Pertama, mengkafirkan sesama muslim.
Dalam
pandangan aliran sesat umumnya, semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di
depan imam mereka, dianggap belum muslim. Tentu saja pandangan ini keliru,
karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaam muslim, dan akan
tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi. Adapun syahadat hanya
dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir
dari ayah dan ibu yang muslim, lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim,
tentu saja hukumnya muslim.
Kedua,
menganggap orang kafir itu najis
Ini
kesalahan mereka yang kedua. Padahal Nabi SAW menerima utusan dari Tsagif yang
notabene kafir justru di dalam masjid.
3.1. Darah
إِنَّمَا حَرَّمَعَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِاللَّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌرَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan
tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. An-Nahl : 115).
Darah
manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang
besar dari dalam tubuh. Maka hati, jantung dan limpa tidak termasuk najis,
karena bukan berbentuk darah yang mengalir.
Sedangkan
hewan air (laut) yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis
karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati.
Sedangkan
darah yang mengalir dari tubuh muslim yang mati syahid tidak termasuk najis.
3.2. Air Kencing Manusia, Muntah dan Kotorannya
Kenajisan
ketiga benda ini telah disepakati oleh para ulama. Kecuali bila muntah dalam
jumlah yang sangat sedikit. Dan juga air kencing bayi laki-laki yang belum
makan apapun kecuali susu ibunya. Dalilnya adalah hadits berikut ini
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ أَنَّهَاأَتَتْ
بِابْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ الله s فَبَالَ عَلىَ ثَوْبِهِفَدَعَا بِمَاءٍ
فَنَضَحَهُ عَلَيْهِ وَلَمْ يَغْسِلْهُ - رواه الجماعة
Dari Ummi Qais ra bahwa dia datang kepada Rasulullah
SAW dengan membawa anak laki-lakinya yang belum bisa makan. Bayi itu lalu
kencing lalu Rasulullah SAW meminta diambilkan air dan beliau memercikkannya
tanpa mencucinya`. (HR. Bukhari 223 dan Muslim 287)
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبيِ طَالِبٍ
أَنَّ رَسُولَاللهِ s قَالَ : بَوْلُ الغُلاَمِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ وَبَوْلُ
الجَارِيَةِ يُغْسَلُ قَالَقَتَادَة : وَهَذَا مَالَمْ يُطْعِمَا فَإِذَا
طُعِمَا غُسِلاَ جَمِيْعًا - رواه أحمد والترمذي وقال : حديثحسن
Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Kencing bayi laki-laki itu cukup dengan memercikkanya saja. Sedangkan
kencing bayi wanita harus dicuci". Qatadah berkata,"Dan ini bila
belum makan apa-apa, tapi bila sudah makan makanan, maka harus dicuci".
(HR. Tirmizi)[50]
3.4. Nanah
Nanah
adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, harus dicuci bekas nanahnya
sebelum boleh untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu` atau
mandi).
3.5. Mazi dan Wadi
Mazi
adalah cairan bening yang keluar akibat percumbuan atau hayalan, keluar dari
kemaluan laki-laki biasa. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani
keluar. Dan keluarnya tidak deras atau tidak memancar.
Mazi
berbeda dengan mani, yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah
atau kenikmatan (ejakulasi), sedangkan mazi tidak.
Wadi
adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air
kencing.
3.6. Tubuh Jenazah Manusia
Jenazah
adalah tubuh manusia muslim atau kafir yang telah kehilangan nyawa. Dalam pandangan
jumhur ulama selain Al-Hanafiyah bahwa jenazah muslim atau kafir hukumnya suci.
Sedangkan
dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam dan Iyadh, jenazah
manusia muslim itu najis, karena itu disyariatkan pemandian jenazah untuk
mensucikannya. Sedangkan jenazah orang kafir tetap najis dan tidak bisa
disucikan dengan memandikannya.[51]
3.7. Potongan Anggota Tubuh Manusia
Jumhur
ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari
tubuhnya, hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka
potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat
masih hidup atau pun pada saat sudah meninggal dunia.
Hal
itu lantaran dalam pandangan jumhur ulama bahwa potongan tubuh itu tetap
dishalatkan, sehingga dianggap bukan benda najis.
Namun
pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah
yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan.
Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya. [52]
4. Hewan Yang Masih Hidup
Dalam
bagian ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang kenajisan hewan yang masih hidup.
4.1. Babi (Khinzir)
Al-Hanafiyah,
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa babi yang masih hidup
itu najis pada keseluruhan tubuhnya. Termasuk juga bagian yang terlepas darinya
seperti bulu, keringat, ludah dan kotorannya.
Dasarnya
adalah firman Allah SWT :
قُل لاَّ
أَجِدُفِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ
أَنيَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُرِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. (QS. Al-An'am : 145)
Kalau
babi hidup dianggap najis apalagi babi yang mati menjadi bangkai. Bahkan meski
pun seekor babi disembelih dengan cara yang syar`i, namun dagingnya tetap haram
dimakan karena daging itu najis hukumnya.
Meskipun
nash dalam Al-Quran Al-Kariem selalu menyebut keharaman daging babi, namun
kenajisannya bukan terbatas pada dagingnya saja, namun termasuk juga darah,
tulang, lemak, kotoran dan semua bagian dari tubuhnya.
إِنَّمَا
حَرَّمَعَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
بِهِلِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqarah : 173)
Namun pandangan mazhab Al-Malikiyah agak
sedikit berbeda. Mereka menganggap 'ain tubuh babi itu tidak najis, lantaran
mereka berpegang pada prinsip bahwa hukum asal semua hewan itu suci. [53]
Begitu juga dengan ludahnya, dalam pandangan mereka bukan najis.[54]
a. Kulit Babi
Para
ulama sepakan bahwa babi yang mati, maka hukum kulitnya tetap najis, meski pun sudah mengalami
penyamakan (الدباغ). Sementara hewan-hewan lain yang mati
menjadi bangkai, apabila kulitnya disamak, hukumnya menjadi suci kembali.
Dan
mazhab Al-Malikiyah yang tidak menganggap babi yang hidup itu najis, ketika
bicara tentang kulit babi yang sudah mati, mereka mengatakan hukumnya tetap
najis.[55]
Satu-satunya
pendapat yang mengatakan bahwa kulit babi itu tidak najis bila telah disamak
adalah sebuah riwayat dari Abu Yusuf.[56]
b. Berubah Wujudnya 'Ain Babi
'Ain
suatu benda maksudnya adalah wujud pisik, hakikat dan dzat benda itu. 'Ain
suatu benda bisa berubah wujud dengan proses tertentu. Misalnya, minyak bumi
yang kita pakai untuk bahan bakar, menurut pada ahli dahulu berasal dari hewan
atau tumbuhan yang hidup jutaan tahun yang lalu. Disini terjadi perubahan 'ain
dari hewan menjadi 'ain minyak bumi.
Proses
perubahan 'ain suatu benda menjadi 'ain yang lain disebut : istihalah.
Al-Hanafiyah
dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa benda yang najis apabila telah mengalami
perubahan 'ain dengan istihalah, maka pada hakikatnya benda itu sudah berubah
wujud, sehingga hukumnya sudah bukan lagi seperti semua, tetapi berubah menjadi
suci.
Jadi
bila kita ikuti logika pandangan kedua mazhab itu, apabila babi sudah berubah menjadi
benda lain, misalnya menjadi tanah, garam, fosil, batu atau benda lainnya yang
sama sekali tidak lagi dikenali sebagai babi, maka hukumnya tidak najis.
Dengan
logika ini, insulin dan benda-benda kedokteran yang disinyalir berasal dari
ekstrak babi, secara nalar telah mengalami perubahan 'ain lewat proses
istihalah. Sehingga hukumnya tidak lagi najis.
Namun
dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, meski pun benda najis
sudah berubah 'ain-nya dan beristihalah menjadi 'ain yang lain, tetap saja
hukum najis terbawa serta. Dengan pengecualian dua kasus saja, yaitu penyamakan
kulit bangkai dan berubahnya khamar menjadi cuka. Selebihnya, semua perubahan
'ain tidak berpengaruh pada perubahan hukum, termasuk babi yang diekstrak
menjadi insulin dan sebagainya.
c. Nilai Harta dan Kepemilikan Babi
Lantaran
babi dikategorikan benda najis secara 'ain, maka hukumnya berpengaruh kepada
hukum kepemilikan dan nilai jualnya.
Para
ulama mengatakan bahwa babi itu tidak sah untuk dimiliki karena kenajisannya.
Dan berarti juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Dalilnya adalah hadits
berikut ini :
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اَللَّهِ r يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ وَهُوَ
بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ
حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ. فَقِيلَ:
يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ اَلْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ تُطْلَى بِهَا
اَلسُّفُنُ وَتُدْهَنُ بِهَا اَلْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا اَلنَّاسُ؟ فَقَالَ
لا هُوَ حَرَامٌ . ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اَللَّهُ اَلْيَهُودَ
إِنَّ اَللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ
فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW berkata pada
hari fathu Mekkah,"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan
jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala". Seseorang bertanya,"Ya
Rasulallah, bagaimana hukumnya dengan minyak (gajih) bangkai? minyak itu berguna
untuk mengecat (merapatkan) lambung kapal, juga untuk mengeringkan kulit dan
digunakan orang buat bahan bakar lampu". Rasulullah SAW
menjawab,"Tidak, tetap haram hukumnya". Kemudian beliau SAW
meneruskan,"Semoga Allah memerangi Yahudi ketika diharamkan atas mereka,
malah mereka perjual-belikan dan makan keuntungan jual-beli itu. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Para
ulama sepakat, dengan diharamkannya kepemilikan dan jual-beli seorang muslim
atas babi, maka apabila ada seorang muslim yang mencuri babi milik orang lain
yang muslim, atau menghilangkannya, tidak perlu menggantinya dan juga dipotong
tangan meski tetap berdosa. [57]
Namun
bila babi itu milik selain muslim, maka hukumnya wajib mengganti atau
mengembalikannya, sebagaimana pendapat Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
4.2. Anjing
Para
ulama mengatakan bahwa seluruh tubuh anjing merupakan hewan najis berat (mughallazhah).
Namun ada juga pendapat sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa najis anjing
itu hanya air liurnya dan mulutnya saja.
a.
Mazhab Al-Hanafiyah[58]
Dalam
mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan
kotorannya. Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis.
Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat
banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk
berburu. Mengapa demikian ?
Sebab
dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila
anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya
saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ ض أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ s قَالَ إِذَاشَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا-متفق عليه
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Bila anjing minum dari wadah air milikmu, harus dicuci tujuh
kali.(HR. Bukhari dan Muslim).
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا
وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُأَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah minummu
yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah.(HR. Muslim dan Ahmad)
b.
Mazhab Al-Malikiyah[59]
Mazhab
ini juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air
liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah
dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.
c.Mazhab
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah[60]
Kedua
mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis,
tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan
hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk
mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan
tanah.
Logika
yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa
yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur
itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air
yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.
Pendapat
tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya
antara lain :
Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah
seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain
mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau
apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau
bersabda,"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama
hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis". (HR. Al-Hakim dan
Ad-Daruquthuny).
Dari
hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu
najis.
4.3. Hewan Buas
Hewan
buas atau dalam bahasa Arab disebut dengan siba' (السباع). Kita menemukan beberapa hadits yang
shahih tentang hewan buas ini, antara lain :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ:كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ اَلسِّبَاعِ
فَأَكَلَهُ حَرَامٌ. وَزَادَ: وَكُلُّ ذِي
مِخْلَبٍ مِنْ اَلطَّيْرِ- رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi SAW
bahwa beliau bersabda,"Semua hewan yang punya taring dari hewan buas, maka
haram hukumnya untuk dimakan". Dan ditambahkan :"Semua yang punya
cakar dari unggas" (HR. Muslim)
Keharaman
memakan hewan yang bertaring dan cakar maksudnya adalah hewan yang memakan
makanannya dengan cara membunuh mangsanya dengan taring atau cakarnya. Bukan
sekedar hewan itu punya gigi taring atau kuku. Sapi dan kambing juga punya gigi
taring dan kuku, sebagaimana ayam dan burung dara juga punya kuku, yang tidak
disebut cakar dari ceker.
Namun
meski pun demikian, kalau kita lihat catatan para ulama mazhab, ternyata tetap
ada perbedaan pandangan disana sini, yang menandakan mereka belum bulat
menyepakati kenajisannya.
Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa semua hewan buas hukumnya najis, seperti singa, macam,
srigala, harimau, kera, termasuk juga burung buas yang memakan bangkai seperti
elang (صقر), falcon (شاهن) dan lainnya. [61]
Al-Malikiyah
mengatakan bahwa meski pun haram dimakan, namun bukan berarti najis. Karena
pada dasarnya semua hewan yang hidup itu pada dasarnya tidak najis.[62]
As-Syafi'iyah
juga sepedapat bahwa meski haram memakannya, namun mereka mengatakan bahwa
semua hewan hidup itu hukumnya tidak najis, kecuali anjing dan babi. Termasuk
najis adalah hewan yang lahir dari perkawinan anjing, atau dari perkawinan babi
atau dari perkawinan kedua.[63]
5. Hewan Mati (Bangkai)
Al-Jashshash
dalam Ahkamul Quran menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangkai (ميتة) adalah
: الحيوان
الميت غير المذكى, hewan yang matinya tidak disembelih dengan cara disembelih[64].
Hewan
yang menjadi bangkai hukumnya najis., sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Al-Kariem tentang hukum
bangkai
إِنَّمَا
حَرَّمَعَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
بِهِلِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah . Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqarah : 173)
قُل
لاَّ أَجِدُفِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ
أَنيَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُرِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَبَاغٍ وَلاَ
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)".(QS.
Al-An'am : 145)
Keempat
mazhab yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah telah
sampai kepada level ijma' bahwa bangkai itu selain haram dimakan, juga
merupakan benda yang berstatus najasatul 'ain (نجاسة العين). Maksudnya, dari sisi dzat-nya, bangkai
itu memang benda najis. [65]
Ada
dua macam kematian bangkai. Pertama, bangkai itu mati oleh sebab tindakan
manusia. Dalam hal ini, yang cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariah
Islam. Kedua, mati bukan karena tindakan manusia, seperti terbunuh, mati karena
tua, atau dimangsa hewan lain, dan seterusnya.
4.1. Disembelih Untuk Selain Allah
Di
dalam Al-Quran disebutkan bahwa yang termasuk bangkai adalah hewan yang
disembelih untuk selain Allah, atau juga untuk berhala.
وَمَا
أُهِلَّلِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
(Diharamkan bagimu) yang disembelih atas nama selain Allah (QS.
Al-Maidah 3)
وَمَا
ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
(Diharamkan bagimu) yang disembelih utnuk berhala (QS. Al-Maidah
3)
Meski
pun ayam itu halal, tetapi jika saat disembelihnya ditujukan untuk selain
Allah, maka ayam itu hukumnya adalah bangkai. Termasuk bila disembelih untuk
dijadikan sesaji kepada roh-roh tertentu, atau untuk jin dan makhluk halus
lainnya.
Daging
hewan yang dijadikan persembahan untuk dewa, atau untuk penunggu laut kidul,
termasuk dalam bab ini.
4.2. Disembelih Tidak Syar'i
Hewan
yang disembelih dengan jalan dipukuli, dibanting, diracun atau ditabrakkkan
adalah bangkai. Sebab penyembelihan yang
syar'i adalah dengan cara pemutusan aliran darah di leher, baik dengan cara dzabh
(sembelih) atau pun nahr (ditusuk dengan tombak).
Sebagaimana
firman Allah SWT :
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dan
lakukan shalat untuk tuhanmu dan lakukanlah an-nahr (penyembelihan).
(QS. Al-Kautsar :2)
Namun
bila hewan itu mati karena diburu oleh muslim atau ahli kitab, meski dengan
tombak, anak panas, peluru atau sesuatu yang melukai badannya, hukumnya bukan
termasuk bangkai.
Karena
berburu adalah salah satu cara penyembelihan yang syar'i, meski bukan dengan cara
penyembelihan. Bahkan di dalam Al-Quran dijelaskan tentang kebolehan berburu
dengan menggunakan hewan pemburu yang sudah pasti termasuk hewan buas.
يَسْأَلُونَكَمَاذَا
أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُممِّنَ
الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُاللّهُ فَكُلُواْ
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِعَلَيْهِ وَاتَّقُواْ
اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka
menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?".
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu . Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah
nama Allah atas binatang buas itu . Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat cepat hisab-Nya.(QS. Al-Maidah : 4)
4.3. Disembelih Kafir Non Kitabi
Hewan
yang disembelih oleh orang yang bukan muslim hukumnya adalah bangkai.
Penyembelihan yang syar'i mensyaratkan penyembelihnya harus muslim atau
setidaknya ahli kitab. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّلَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
Sembelihan
ahli kitab itu halal untukmu dan sembelihanmu halal untuk mereka. (QS.
Al-Maidah : 5)
Sedangkan
bacaan basmalah hanya sunnah bukan merupakan syarat atau kewajiban, sebagaimana
dikemukakan oleh mazhab
4.3. Mati Tanpa Disembelih
Yang
termasuk bangkai adalah hewan yang matinya
tidak disembelih tetapi mati terbunuh. Ada yang mati karena tercekik,
terpukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam
binatang buas. Termasuk juga hewan yang biarkan mati karena serangan wabah
penyakit tertentu.
Sebagaimana
firman Allah SWT :
وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُوَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas (QS.
Al-Maidah : 3)
Namun bila sebelum mati, hewan itu sempat disembelih secara
syar'i, hukumnya bukan bangkai, karena secara sah mati akibat penyembelihan.
إِلاَّ
مَاذَكَّيْتُمْ
Kecuali
yang sempat kamu sembelih. (QS. Al-Maidah : 3)
4.4. Potongan Tubuh Dari Hewan Yang Masih Hidup
Anggota
tubuh hewan yang terlepas atau terpotong dari tubuhnya termasuk benda najis dan
haram hukumnya untuk dimakan.
4.5. Bangkai Yang Tidak Najis
a. Lalat dan Nyamuk
Hewan yang tidak punya
nafas seperti nyamuk, lalat, serangga dan sejenisnya, tidak termasuk bangkai
yang najis. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW dalam masalah lalat yang jatuh
tercebur masuk ke dalam minuman, dimana ada isyarat bahwa lalat itu tidak
mengakibatkan minuman itu menjadi najis :
عَنْ
أَبيِ هُرَيْرَةَ ض قَالَ قَالَ النَّبِيُّ ص : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فيِ
شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزَعَهُ فَإِنَّ فيِ إِحْدَى
جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَالأُخْرَى شِفَاءٌ - رواه البخاري
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila ada
lalat jatuh ke dalam minumanmu, maka tenggelamkanlah kemudian angkat. Karena
pada salah satu sayapnya ada penyakit dan salah satunya kesembuhan. (HR.
Bukhari)
b. Bangkai Hewan Laut
Semua
hewan laut pada dasarnya halal dimakan, oleh karena itu para ulama juga
mengatakan bahwa hewan-hewan itu tidak merupakan hewan yang najis, baik dalam
keadaan hidup atau mati.
Dasarnya
adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنِ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُقَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ s فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا
نَرْكَبُ البَحْرَوَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بمِاَءِ البَحْرِ ؟ فَقَالَرَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم : هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ
الحِلُّ مَيْتَتُهُ - رواه الخمسة .
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya
kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa
sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan.
Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu
suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah
386, An-Nasai 59, Malik 1/22)[66].
c. Hewan Darat dan Laut (Barma'i)
Para
fuqaha' tidak sepakat ketika menemukan ada hewan laut yang dapat bertahan lama
hidup di darat, begitu juga sebaliknya, hewan darat yang dapat bertahan lama
hidup di air. Istilah yang sering digunakan untuk hewan yang seperti ini adalah
barma'i (برمئي),
yang merupakan gabungan dari dua kata, barr (برّ) darat dan maa' (ماء) air.
Al-Hanafiyah
mengatakan hewan yang asalnya di laut atau air, apabila dia dapat hidup
sementara waktu ke daratan dalam waktu yang lama dan mati di darat, hukumnya
tetap suci dan tidak najis.
Bahkan
meski pun misalnya hewan itu mati di dalam cairan, seperti susu atau cuka, maka
dalam murid Abu Hanifah yaitu Muhammad, cuka dan susu itu hukumnya tetap tidak
najis, lantaran hewan itu tidak najis. Kecuali bila hewan itu punya darah yang
mengalir keluar dan merusak cairan itu, barulah dianggap najis.[67]
Al-Malikiyah
mengatakan bahwa hukum hewan laut yang bisa lama hidup di darat sama dengan
hewan laut. Dalam hal ini mereka mencontohkan kodok laut dan penyu laut.
Keduanya boleh dibilang sebagai hewan laut yang bisa lama bertahan di darat.
Keduanya tetap dikatakan sebagai hewan laut, dan kemampuannya bisa bertahan
hidup lama di darat tidak mengeluarkannya sebagai hewan laut.
Sehingga
hukum-hukum yang berlaku bagi hewan itu sama persis dengan hukum hewan laut
100%. [68]
Asy-Syafi'iyah
mengatakan bahwa hewan yang hidup di air
dan di darat seperti bebek dan angsa hukumnya halal dimakan, tapi bangkainya
tetap tidak halal.
Sedangkan
kodok dan kepiting dalam pandangan masyhur mazhab ini termasuk yang haram
dimakan. Demikian juga bila hewan itu punya bisa (racun). Termasuk ke dalam
yang diharamkan adalah buaya dan kura-kura.[69]
Al-Hanabilah
mengatakan bahwa hewan laut yang bisa bertahan hidup lama di darat, seperti
kodok dan buaya, bila mati maka termasuk bangkai yang hukumnya najis.
Dan
karena tubuh bangkai itu najis, maka bila mati di air yang sedikit, otomatis
air yang sedikit itu juga ikut tercemar dengan kenajisannya. Dan bila air itu
banyak sekali serta tidak tercemar dengan bangkai itu, maka air itu tidak
dianggap terkena najis.[70]
6. Benda Yang Kenajisannya Tidak Disepakati Ulama
Meski
jumhur ulama mengatakan bahwa khamar itu hukumnya najis, namun ada sebagian
dari mereka yang mengatakan bahwa khamar bukan termasuk najis.
Sedangkan
istilah najis yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Kariem tentang khamar, bukanlah
bermakna najis hakiki, melainkan najis secara maknawi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَآمَنُواْ
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌمِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,
berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)
Dan
masih banyak lagi benda-benda yang kenajiasannya tidak disepakati para ulama.
Misalnya bangkai hewan air atau tidak punya darah, potongan tubuh hewan yang
tidak punya darah, kulit bangkai, air kencing bayi, air kencing dan susu hewan
yang halal dagingnya, air mani (sperma), mayat manusia, air liur orang tidur,
dan seterusnya.
7. Najis-najis Yang Dimaafkan
Najis-najis
yang dimaafkan adalah benda yang pada hakikatnya najis atau terkena najis,
namun karena kadarnya sangat sedikit atau kecil, sehingga dimaafkan.
Para
ulama mengatakan bahwa termasuk ke dalam najis yang dimaafkan adalah najis yang
padat (bukan cair) yang hanya sedikit sekali yaitu hanya selebar uang dirham
(3,17 gram) atau setara 20 qirath.
Sedangkan
untuk najis yang berbentuk cair, seluas lebar tapak tangan saja. Namun dalam
pandangan mereka, meski najis itu dimaafkan, tetap saja haram melakukan shalat
bila badan, pakaian atau tempatnya terkena najis yang dimaafkan
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Mereka
juga mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah beberapa tetes
air kencing kucing atau tikus yang jatuh ke dalam makanan atau pakaian karena
darurat. Juga akibat percikan najis yang tak terlihat oleh mata telanjang.
b. Mazhab Malik
Mereka
mengatakan bahwa yang termasuk najis yang dimaafkan adalah darah manusia atau
hewan darat yang sangat sedikit jumlahnya, juga nanah dan muntah yang sedikit.
Kira-kira selebar titik hitam pada uang dirham. Baik najis itu berasal dari
dirinya atau dari orang lain, termasuk dari hewan. Bahkan termasuk darah dari
babi.
Juga
air kencing yang sedikit sekali yang keluar tanpa mampu dijaga karena penyakit,
termasuk di dalamnya adalah air mazi, mani dan yang keluar dari anus. Juga air
kencing anak kecil dan kotorannya buat ibu yang sedang menyusuinya, karena
nyaris mustahil tidak terkena sama sekali dari najis yang mungkin hanya berupa
percikan atau sisa-sisa yang tak nampak.
c. Mazhab Syafi`i dan Hanbali
Kedua
mazhab ini dalam masalah najis yang dimaafkan ini nampak lebih keras, sebab
yang dimaafkan bagi mereka hanyalah yang tidak nampak di mata saja. Atau darah
nyamuk, kutu, bangsat atau serangga lain yang tidak punya darah cair. Juga sisa
bekas berbekam (hijamah), bekas lalat, dan lainnya. ÿ
[1] At-Tirmizy
mengatakan bahwa hadits adalah hadits yang paling kuat dalam masalah ini dan
statusnya adalah hasan
[2]Lihat
Mukhtarushshihah pada maddah thahara
[4]At-Tirmiy
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih
[5]At-Tirmizy
mengatakan hadits ini hasan
[6]Shahih
Muslim - 283
[7]Shahih
Bukhari - 239
[8]Shahih
Muslim - 282
[9]Sunan
Abu Daud - 70
[10]Hadits
shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (81) dan An-Nasa’i jilid 1 halaman 30 dari
jalur Daud bin Abdullah Al-Adawi dari Hamid Al-Humairi.
[11]Shahih
Muslim -323
[12]Ibnu
Khuzaemah dan At-Tirmizy menshahihkan hadits ini
[13]Lihat
pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar
jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
[14]Lihat
As-Syahru As-Shaghir jilid 37 halaman 1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi
jilid 41 halaman 1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 31, Bidayatul Mujtahid
jilid 1 halaman 26 dan sesudahnya
[15]Lihat
Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 20 dan Al-Muhazzab jilid 5 halaman 1 dan 8
[16]Hadits
ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
[17]Dr.
Wahbah Azu-Zuhayli, Al-Fiqhul Islmai wa Adillahutuh, Jilid 1 halaman 122
[18]Sumur
Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang
untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja’
[19]Al-Majmu'
1 187 dan Al-Mughni 1 18-20
[20]Dalil
ini bukan hadits Nabi SAW melainkan atsar dari Umar bin Al-Khattab. Al-Imam
Asy-Syafi'i menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Umm jilid 1 halaman 3. Namun
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish jilid 1 halaman 22
menyebutkan bahwa sanad periwayatan atsar ini sangat lemah.
[21]Hadits
ini pun disinyalir oleh sebagian muhaqqiq sebagai hadits yang lemah sekali dari
segi periwayatannya.
[22]Asy-Syarhush-shaghir
1 16 dan Hasyiyatu Ad-Dasuqi 1 44
[23]Asy-Syarhul
Kabir 1 45
[24]Al-Ikhtiar
jilid 1 halaman 7
[25]Asy-Syarhushshaghir
wal hasyiatu alaihi jilid 1 halaman 104
[26]Mughni
Al-Muhtaj jilid 1 halaman 47
[27]Kasysyaf
Al-Qinna jilid 1 halaman 82
[28]Malik
meriwayatkan hadits ini secara mursal, namun An-Nasa’i dan Ibnu Hibban
mengatakan bahwa hadits ini tersambung. Setidaknya hadits ini ma’lul (punya
cacat)
[29]al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 362
[30]Al-Majmu' jilid 1 halaman 324
[31]Al-Hawi
lil Mawardi jilid 1 halaman 111
[32]Mawahibul
Jalil jilid 1 halaman 181
[33]Al-Futuhat
Ar-Rabbaniyah jilid 1 halaman 396
[34]Al-Mughni jilid 1 halaman 307
[35]Mughni
Al-Muhtaj jilid 1 halaman 63
[36]Al-Bukhari
mengomentari hadits ini sebagai hadits yang paling shahih dalam masalah ini.
Dan Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat dari Bukhari
dan Muslim
[37]Kasysyaf
Al-Qinna' jilid 1 halaman 139
[38]Al-Majmu'
jilid 2 halaman159
[39]Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah jilid 16 halaman 49
[40]Kekuatan
hadits diperselisihkan oleh para ulama. Penyusun kitab Nailul Authar mengatakan
hadits ini dhaif namun At-Tirmizy menghasankannya.
[41]Al-Bada'i
jilid 2 halaman 129 dan Al-Majmu' jilid 2 halaman 159
[42]Malik
meriwayatkan hadits ini secara mursal, namun An-Nasa’i dan Ibnu Hibban
mengatakan bahwa hadits ini tersambung. Setidaknya hadits ini ma’lul (punya
cacat)
[43]Ibnu
Hajar Al-Asqalani mendhaifkan hadits ini
[45]Bidayatul
Mujtahid jilid 1 halaman 133
[46]Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah jilid 16 halaman 54
[47]Al-Qalyubi
alal minhaj jilid 1 halaman 68
[48]Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 32
[49]Al-Iqna'
li asy-syarbini al-khatib jilid 1 halaman 30
[50]At-Tirmizy
mengatakan hadits ini hasan
[51]Hasyiyah
Ibnu Abidin jilid 1 halaman 141
[52]Al-Mughni
libni Qudamah jilid 1 halaman 45-46
[53]Asy-Syahushshaghir
jilid 1 halaman 43
[54]Al-Kharsyi
jilid 1 halaman 119
[55]Al-Majmu'
jilid 1 halaman 217
[56]Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah jilid 20 halaman 34
[57]Al-Bahrurraiq
jilid 5 halaman 55
[58]Lihat
kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63.
[59]Asy-Syarhul
Kabir jilid 1 halaman 83 dan As-Syarhus-Shaghir jilid 1 halaman 43.
[60]Mughni
Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasy-syaaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 208
dan kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 52.
[61]Fathul
Qadir jilid 1 halaman 74-76
[62]Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah halaman 27
[63]Raudhatut-Thalibin
jilid 1 halaman 13
[64] Ahkamul Quran lil Al-Jashshash 1 halaman 132
[65] Tafsir Al-Fakhrurrazi jilid 5 halaman 19
[66]At-Tirmiy
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih
[67]Fathul
Qadir jilid 1 halaman57
[68]Asy-Syarhul-shaghir jilid 1 halaman 45
[69]Raudhatut-thalibin jilid 3 halaman 275
[70]Al-Mughni
libni Qudamah jilid 1 halaman 40
COMMENTS