Ilustrasi Akhlak Tasawuf. (Foto. Repro) MAKALAH AKHLAK TASAWUF TAUBAT Dosen Pengampu: Dr. H. Abdul Muhaya, MA. ...
TAUBAT
Dosen
Pengampu: Dr. H. Abdul Muhaya, MA.
Disusun oleh:
Faiqotun Ni’mah
(124211041)
Jurusan Tafsir Hadits
Semester II
Fakultas Ushuluddin
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013
BAB I. PENDAHULUAN
Islam berasal dari kata bahasa Arab “aslama” yang berarti ketundukan,
kepasrahan. Berarti, di dalam Islam
haruslah ada kepasrahan pada yang pantas menerima kepasrahan yaitu dzat yang maha
Agung, tak lain adalah Allah SWT. Di dalam agama Islam, terdapat istilah
taubat, yang pada esensinya juga merupakan kepasrahan diri hamba kepada yang
menciptakannya. Sesungguhnya taubat adalah batu pertama di jalan menuju
Tuhannya (Allah).
Di dalam Al-Qur’an yang merupakan kitab suci
kaum muslim pun, banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk
bertaubat. Bahkan, kadang-kadang mewajibkannya. Dan juga banyak dijelaskan
bahwa Dia adalah maha penerima taubat.[1]
Jadi, sebagai kaum muslim, apalagi yang berada
di kalangan civitas academika Islam, sudah selayaknya memahami tentang taubat
dan diharapkan bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan unsur-unsur taubat?
2. Bagaimana kedudukan taubat dalam maqamat
shaleh?
3. Apa syarat-syarat taubat?
4. Bagaimana perbuatan yang bisa menutupi dosa
dalam bertaubat?
5. Bagaimana tingkatan dan jenis taubat?
BAB III. PEMBAHASAN
1. a. Pengertian Taubat
Ada banyak pendapat mengenai pengertian taubat. Antara lain:
Dr. Abdul Halim Mahmoud dalam bukunya Hal Ihwal Tasauf Terjemah Al
Munqidz Minadhdhalala disebutkan bahwa taubat itu adalah mensucikan manusia
dari maksiat, dan menghapus kesalahan (dosa-dosa) sebelumnya. Taubat semacam
ini mempunyai syarat yang harus dipenuhi hingga dapat menyiapkan manusia untuk
menempuh jalan menuju Allah dengan kesiapan yang sempurna. [2]
Dalam Ihya’ Al-Ghazali disebutkan Sahal bin Abdullah At- Tusturi
mengatakan: “Taubat itu penggantian gerakan-gerakan yang tercela, dengan
gerakan-gerakan yang terpuji. Dan yang demikian tiada akan sempurna, selain
dengan khilwah (bersemedi), berdiam diri dan memakan yang halal.
Juga disebutkan Nabi SAW pernah bersbda:
الندم توبة
Artinya: “Penyesalan itu taubat”.
b. Unsur-Unsur Taubat
Taubat ibarat dari suatu pengertian yang tersusun dan bersedaging dari tiga
perkara yang bertatib. Yaitu: ilmu, keadaan/hal (kondisi spiritual), dan
perbuatan. Maka ilmu yang pertama, keadaan yang kedua dan perbuatan yang
ketiga. Yang pertama mengharuskan yang kedua dan yang kedua mengharuskan yang
ketiga.
Ilmu (pengetahuan) yaitu: mengetahui besarnya bahaya dosa dan keberadaannya
sebagai tabir penghalang antara hamba dan setiap yang dikasihinya.[3]
Apabila ia mengetahui yang demikian dengan ma’rifah yang teguh, dengan
keyakinan yang mengerasi atas hatinya, niscaya berkobarlah dari ma’rifah ini,
perasaan pedih bagi hati, disebabkan hilangnya yang dikasihi itu. Sesungguhnya
hati, manakala merasa kehilanagan yang dikasihinya, niscaya ia merasa pedih.
Kalau hilngnya itu karena perbuatannya, niscaya ia merasa sedih atas perbuatan
yang menghilangkan itu. Lalu perasaan pedihnya itu dinamakan sesal,
disebabkan perbuatannya sendiri yang menghilangkan kekasihnya itu.
Apabila kepedihan ini mengerasi atas hati dan menguasainya, niscaya membangkitkan
dari kepedihan ini di dalam hati, suatu keadaan yang lain, yang dinamai
kehendak (iradat) dan maksud (keinginan) kepada perbuatan yang mempunyai kaitan
dengan waktu sekarang, waktu yang lalu dan waktu yang akan datang.
Adapun kaitannya dengan waktu sekarang, maka yaitu dengan meninggalkan dosa
yang dikerjakannya. Dan yang menyangkut dengan waktu yang akan datang, maka
yaitu dengan bercita-cita meninggalkan dosa yang menghilangkan kekasih itu
sampai kepada penghabisan umurnya. Dan yang menyangkut dengan waktu yang lalu,
dengan memeperbaiki kembali apa yang hilang itu.
Maka, ilmu adalah yang pertama. Ilmulah tempat munculnya segala kebajikan
ini. Dan dikehendaki dengan ilmu ini adalah iman dan yakin. Iman adalah ibarat
dari pembenaran, bahwa dosa itu racun yang membinasakan. Dan yakin, adalah
ibarat dari penguatan pembenaran ini, meniadakan keraguan daripadanya dan
menguatkan atas hati. Lalu berbuahlah nur iman ini manakala telah bercahaya
atas hati, api penyesalan. Maka hati merasa pedih dengan dosa-dosa itu, di mana
ia melihat dengan cahaya nur iman, bahwa telah terjadi ia tertinding dari
kekasihnya. Seperti orang yang bercahaya kepadanya cahaya matahari dan ia berda
dalam gelap. Lalu bersinarlah cahaya kepadanya dengan tersingkap awan atau
terbuka dinding (hijab). Maka, dilihatnya kekasihnya dan kekasihnya itu hampir
binasa. Lalu bergolaklah api kecintaaan dalam hatinya. Dan menggeraklah api-api
itu dengan kehendaknya, untuk bangkit
memeperbaiki kembali.
Maka, ilmu, sesal, dan maksud yang
menyangkut dengan mninggalkan itu, pada masa sekarang, masa yang akan datang
dan memperbaiki kembali bagi masa yang lalu itu, tiga pengertian yang tersusun
pada hasilnya. Lalu disebutlah nama taubat itu, di atas keseluruhannya. Dan
banyaklah disebut nama taubat itu, di atas pengertian sesal atu saja.[4]
2. Kedudukan Taubat dalam Maqamat Shaleh
Kedudukan Taubat adalah di posisi pertama dalam maqamat shaleh. Menurut
Imam Al-Ghazali, taubat itu wajib. Wajib taubat itu nyata dengan hadits-hadits
dan ayat-ayat. Dan itu terang dengan nur mata hati pada orang yang terbuka
matahatinya dan Allah membuka nur iman, dadanya. Wajibnya taubat itu
terus-menerus dan dalam segala keadaan, karena setiap manusia itu tiada
terlepas dari perbuatan maksiat dengan anggota tubuhnya.[5]
Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan As-Susy r.a, berkata “Kedudukan pertama dari
orang-orang yang memusatkan diri dalam ibadah kepada Allah SWT adalah taubat,
yakni kembali dari segala yang dicela oleh ilmu menuju pada sesuatu yang dipuji
oleh ilmu.” Pernyataan tersebut memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa
taubat berada dalam posisi pertama dalam maqamat shaleh.[6]
3. Syarat- Syarat Taubat
Menurut para ulama’, taubat itu wajib. Adapun
syarat-syarat taubat, yaitu:
1. Harus meninggalkan maksiat yang telah
dilakukan
2. Menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah
dilakukan
3. Bertekad tidak melakukannya kembali perbuatan
itu selama-lamanya
Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah. Jika
manusia melakukan maksiat kepada sesama manusia, maka syaratnya ada empat, yaitu
tiga syarat yang telah disebutkan di atas, dan ditambah membersihkan atau membebaskaan diri dari hak
tersebut, dengan cara:
a.
Apabila berupa harta benda, maka harus mengembalikan
b.
Apabila berupa menuduh zina dan semisalnya, maka harus
menyerahkan diri kepada orang yang punya hak atau meminta maaaf kepadanya. Ahli
haq, mengatakan bahwa seseorang yang bertaubat hanya sebagaian dosanya adalah
sah, tetapi disa yang lain masih tetap.[7]
4. Perbuatan yang Bisa Menutupi Dosa dalam
Bertaubat
Bagi orang yang berbuat dosa, wajib atasnya adalah: taubat, penyesalan, dan
berbuat menutupi dosa itu dengan
perbuatan kebaikan, yang berlawanan dengannya. Bisa dikatakan ia menolak
kejahatan dengan kebaikan. Supaya ia mengahpuskan kejahatan itu.
Adapun perbuatan-perbuatan baik yang
menutupkan (menjadi kaffarah) bagi perbuatan-perbuatan jahat, ada kalanya
dengan hati, lidah, maupun anggota badan.
a. Dengan hati: hendaklah ditutupkannya dengan
merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, bermohon keampunan dan kema’afan.
b. Dengan lidah: dengan mengaku berbuat
kedzaliman dan meminta ampun. Dan seperti demikian juga, ia juga memperbanyak
membaca istighfar.
c. Dengan anggota badan: dengan
perbuatan-perbuatan tha’ath, seperti memberi sedekah dan ibadah-ibadah lainnya.
Pada atsar (ucapan para shahabat dan ulama’ terkemuka),
ada yang menunjukkan bahwa dosa itu apabila diikutkan dengan delapan macam amal
perbuatan, niscaya dapatlah diharapkan kema’afan itu. Yaitu: empat dari amal
perbuatan hati: taubat, atau berazam kepada taubat, ingin mencabut diri dari
dosa, takut siksaan atas dosanya dan mengharap keampunan baginya. Dan empat
dari amal perbuatan badan: bahwa anda mengerjakan shalat dua raka’at, sesudah
baru saja berbuata dosa. Kemudian, mengucapkan istighfar sebanyak tujuh puluh
kali. Dan mengucapkan “subhaanallaahil ‘adziimi wabihamdih” seratus
kali. Kemudian bersedekah, kemudian berpuasa sehari. Pada sebagian atsar itu
disebutkan, supaya anda melengkapkan dengan wudlu’, masuk ke dalam masjid dan
mengerjakan shalat dua rakaat.
5. Tingkatan dan Jenis Taubat
a. Tingkatan Taubat
Perlu diketahui bahwa orang-orang bertaubat
itu, mengenai taubtanya, adalah atas empat tingkat:
1) Tingkat Pertama:
Bahwa orang maksiat itu bertaubat dan ia
bersikap istiqamah di atas taubatnya, sampai akhir umurnya. Maka ia memperoleh
kembali apa yang telah teledor dari pekerjaannya. Dan ia tidak memperkatakan
dirinya dengan kembali kepada dosa-dosanya, selain oleh tergelincir yang tiada
terlepas manusia daripadanya, menurut kebiasaan, manakala manusia itu tidak
pada tingkatan kenabian.
2) Tingkatan Kedua:
Orang yang bertaubat yang menempuh jalan
istiqamah, pada induk-induk perbuatan tha’at dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan keji yang menjadi dosa besar seluruhnya. Hanya, dia itu
tiada akan terlepas dari dosa-dosa tersebut, dalam perjalanan hidup keadaan
dirinya, tanpa ia mengemukakan azam kepada mengerjakan dosa-dosa itu. Akan
tetapi, tiap kali ia telah melakukan dosa-dosa itu, niscaya ia mengutuk
dirinya, menyesali dan bersedih hati. Dan ia membaharukan azamnya, untuk
berkekalan menjaga diri dari sebab-sebab dosa yang mendatangkannya kepada
dosa-dosa tersebut.
3) Tingkatan Ketiga:
Bahwa ia bertaubat dan berkekalan di atas
istiqamah di suatu waktu. Kemudian, ia dikerasi oleh nafsu syahwat pada
sebagian dosa. Lalu ia tampil pada dosa itu dengan benar azam dan maksud hawa
nafsu. Karena lemahnya daripada paksaan hawa nafsu. Hanya dia dalam pada itu
rajin selalu mengerjakan amal tha’at dan meninggalakn sejumlah dosa, serta
mmapu memperbuatnya dan ada nafsu syahwatnya. Sesungguhnya ia dipaksakan oleh
nafsu syahwat. Namun, dia ingin jikalau diberi kemampuan oleh Allah Ta’ala
kepada mencegahnya. Ketika selesai berbuat dosa lalu menyesal. Dan ia
mengatakan: “Mudah-mudahan akau tidak memperbuatnya lagi. Aku akan bertaubat
daripadanya dan akan bermujahadah dengan diriku pada memaksakannya.”
Akan tetapi, ia menanyakan dirinya dan
taubatnya dikatakannya “akan”, sekali demi sekali dan hari demi hari. Maka dari
ini, ialah yang dinamakan: diri yang menanyakan (an-nafsul-musawwilah).
4) Tingkatan Keempat:
Bahwa ia bertaubat dan ia lalui pada suatu
masa di atas istiqamah. Kemudian ia kembali kepada memperbuat dosa atau
dosa-dosa, tanpa ia membisikkan pada dirinya dengan taubat. Dan tanpa ia
bersedih hati atas perbuatannya. Bahkan, ia terperosok sebagaimana terperosoknya
orang yang lalai pada mengikuti nafsu-syahwatnya.
Maka orang ini termasuk dalam jumlah
orang-orang yang berkekalan berbuat dosa. Dan diri ini adalah diri yang menyuruh dengan
kejahatan (an-nafsul-ammaratu bi al suui), yang lari dari kebajikan. Dan
ditakuti terhadap orang ini, akan buruk akhir kesudahannya (su-ul khatimah).
Dan urusannya dalah menurut kehendak Allah. Kalau ia berkesudahan dengan buruk,
niscaya ia sengsara dengan kesengsaraan yang tiada akhirnya. Dan kalau ia
berkesudahan dengan baik, sehingga ia mati di atas tauhid, maka ia dapat
ditunggu akan kelepasan dari neraka, walaupun sesudah masa yang tidak
diketahui.[8]
b.
Jenis-Jenis Taubat
Abu Ali
Al-Daqqaq berkata, “Taubat terbagi kepada 3 jenis. Pertama ‘Taubat’. Kedua
‘Inabah’. Ketiga
‘Aubah’."
Imam
Al-Qusyairi pula menafsirkan didalam kitabnya ‘Risalah Al-Qusyairiyyah’
katanya, "seseorang yang bertaubat kerana takut kepada
balasan Allah dinamakan taubat. Orang
yang bertaubat karena mengharapkan pahala daripada Allah dinamakan Inabah.
Bertaubat kerana menyahut perintah Allah bukan kerana mengharap pahala atau
takut kepada seksa Allah, dinamakan Aubah
”.
Ada pun Ibnu
‘Atoillah Al-Sakandari berkata, “ Taubat itu terbagi kepada dua, pertama Taubat Al-Inabah, yaitu
seseorang hamba yang bertaubat kerana takut kepada balasan azab dari Allah SWT.
Kedua Taubat AL-Istihya
iyyah yaitu seseorang hamba itu bertaubat karena
malu kepada kemuliaan Allah SWT ”.
BAB IV.
KESIMPULAN
Taubat itu adalah mensucikan manusia dari maksiat, dan menghapus kesalahan
(dosa-dosa) sebelumnya.
Unsur-unsur dalam pengertian taubat ada 3 hal, yaitu: ilmu, hal(kondisi
spiritual), dan perbuatan.
Kedudukan Taubat adalah di posisi pertama
dalam maqamat shaleh.
Menurut para ulama’, taubat itu wajib. Adapun
syarat-syarat taubat, yaitu:
1. Harus meninggalkan maksiat yang telah
dilakukan
2. Menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah
dilakukan
3. Bertekad tidak melakukannya kembali perbuatan
itu selama-lamanya
Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah. Jika
manusia melakukan maksiat kepada sesama manusia, maka syaratnya ada empat,
yaitu tiga syarat yang telah disebutkan di atas, dan ditambah membersihkan atau membebaskaan diri dari hak
tersebut.
Tingkatan taubat ada empat macam dan
jenis taubat yaitu taubat, inabah, dan aubah.
BAB V. PENUTUP
Demikian
makalah yang telah penulis buat. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempuranaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
perbaikan pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Mohon
maaf atas segala kekurangan dan terimakasih atas kerjasama semua pihak yang
terlibat. Wallâhu a’lam bi al-shawab.
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA
Hawwa, Sa’id. 2006. Intisari Ihya’ ulumuddin Al-Ghazali. Jakarta:
Robbani Press.
Mahmoud, A.H. Hal Ihwal Tasauf: Terjemah Al Munqidz Minadhdhalal.
Daarul Ihya.
Nawawi, Imam. 1999. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jakarta: Pustaka
Amani.
Susetya, Wawan. 2006. Cermin Hati Perjalanan Menuju Ilahi. Solo:
Tiga Serangkai.
Yakub, I. 1985. Ihya’ Al-Ghazali. Jakarta Selatan: C.V. Faizan.
http://mujahid89.blogspot.com/2009/02/taubat.html Rabu, 22 Mei 2013. 11.00 WIB.
[1]
Wawan Susetya, Cermin Hati
Perjalanan Menuju Ilahi (Solo: Tiga Serangkai, 2006), h. 113
[2]
Dr. Abdul Halim Mahmoud, Hal
Ihwal Tasauf Terjemah Al Munqidz Minadhdhalala.
Daarul
Ihya’.h. 233
[3] Sa’id Hawwa, Intisari Ihya’
ulumuddin Al-Ghazali (Jakarta: Robbani Press, 2006) h. 397
[4]
Ismail Yakub, Ihya’ al Ghazali
(Jakarta Selatan: Faizan, 1985), h.107 dan 108
[5]
Ibid., h. 119-125
[6]
Wawasan Susetya, Op.cit., h.
114
[7]
Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus
Shalihin (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h.15
[8]
Ibid, h. 216-223
COMMENTS